Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berawal dari Sindiran Muhaimin...

Kompas.com - 09/03/2012, 21:40 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar pernah menyindir bawahannya di Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Ditjen P2KT) karena tidak mampu mendapatkan dana untuk membiayai program-program transmigrasi.

Gara-gara sindiran menteri tersebut, Direktorat Jenderal P2KT waktu itu, Harry Haryawan Saleh, menyambut tawaran Ali Mudhori. Ali Mudhori adalah mantan anggota tim asistensi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) yang mengaku bisa golkan pengajuan anggaran Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) Rp 600 miliar untuk transmigrasi.

Hal tersebut dituturkan terdakwa kasus dugaan suap PPID Transmigrasi, Sekretaris Ditjen P2KT I Nyoman Suisnaya, saat diperiksa dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (9/3/2012). "Dirjen sering diledek menteri. Katanya, 'Pak Harry ini enggak suka dana besar. Bukan soal suka atau tidak suka, melainkan soal kemampuan mendapatkan dana,'" kata Nyoman.

Pada sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa itu, Nyoman menjelaskan, ledekan Muhaimin tersebut bukan ditujukan kepada Harry sebagai personal. Pernyataan tersebut ditujukan kepada Dirjen P2KT yang dinilai tidak bisa mendapatkan dana memadai untuk melaksanakan program-program transmigrasi. Dibandingkan bidang tenaga kerja, transmigrasi mendapatkan dana yang lebih sedikit. Tahun 2011, bidang transmigrasi hanya dianggarkan Rp 600 miliar di APBN murni.

Nyoman menuturkan, pada mulanya Ali mendatangi dia untuk menawarkan "jasa" memuluskan pengajuan anggaran Kemenakertrans. Selain mantan tim asistensi Menakertrans, Ali juga mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai yang sama dengan Muhaimin, Partai Kebangkitan Bangsa.

Untuk memastikan program PPID tersebut, Nyoman menanyakannya kepada staf khusus Menakertrans, Jazilul Fawaid. Ali kemudian mengenalkan Nyoman dengan Sindu Malik Pribadi dan Iskandar Pasojo alias Acos. Sindu dan Acos mengaku sebagai konsultan Badan Anggaran DPR yang mengetahui seluk-beluk pengajuan anggaran. "Lumayan, ada APBN-P Rp 600 miliar sehingga Pak Ali mengarahkan kami melakukan pertemuan lebih lanjut," ujar Nyoman.

Dalam pertemuan lanjutan tersebut, kata Nyoman, Ali dan kawan-kawan menyampaikan bahwa kucuran dana Rp 600 miliar untuk transmigrasi itu tidak gratis. Sindu menyebut angka 10 persen yang harus dibayarkan sebagai commitment fee. "Dana ini tidak gratis, ada biayanya. Ada angkanya 10 persen, sudah disampaikan (oleh Sindu) sejak awal," kata Nyoman. Menurut Sindu, lima persen commitment fee akan diberikan untuk Badan Anggaran. Sisanya tidak dijelaskan untuk siapa.

Menanggapi permintaan commitment fee sebesar 10 persen itu, para direktur di Ditjen P2KT menyatakan tidak sanggup. Oleh karena itu, diputuskan untuk melibatkan pihak swasta. Khusus proyek PPID di empat kabupaten di Papua, Dharnawati yang mengaku kuasa direksi PT Alam Jaya Papua bersedia membayarkan commitment fee tersebut.

Pada 25 Agustus 2011, terjadi penyerahan uang dalam kardus durian senilai Rp 1,5 miliar dari Dharnawati ke Kemenakertrans yang diterima Nyoman dan pejabat lain di Kemenakertrans, yakni Dadong Irbarelawan. Dharnawati divonis 2,5 tahun penjara dalam kasus ini, sementara Dadong masih menjalani proses persidangan. Mulanya, kata Nyoman, uang itu akan diberikan ke Fauzi, mantan tim asistensi Menakertrans. Namun, sampai pada waktu penyerahan uang, Fauzi tidak kunjung datang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com