Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mantra Sandal Jepit Anak Gunung

Kompas.com - 10/01/2012, 09:21 WIB

Dengan latar belakang gerak kibasan dua gunungan yang juga berhiaskan masing-masing dua pasang sandal jepit lusuh dan tabuhan tiga bende dari balik layar hitam berproperti gantungan sandal jepit warna-warni, remaja itu menguntai kalimat yang lain, memaknai kasus hukum sandal jepit.

"Goleke gampang tor irit, ora ngenteke duwit, werno abang, ijo, biru, putih, ireng, ono komplit. Kenopo dadi soal sing rumit. Mung ilang sandal jepit kok jerat-jerit. Kok ino, sandal olo tekan perdoto kono. Kok ino, ora eman dadi punggowo negoro. Kok ino, hukum perdoto kok yo nompo. Kok ino, diece disurak poro kawulo. Kok ino, ra rumongso duwe roso. Kok ino, mung sandal jepit ngilangke wibowo".

Pimpinan komunitas seniman petani Gunung Andong "Sanggar Andong Jiwani", Supadi Haryono, menyebut untaian kalimat itu sebagai kepedulian dan sikap kritis anak-anak lingkungan setempat.

Mereka, katanya, mengungkapkan solidaritasnya melalui jalan budaya, berupa pentas ritual itu dan menyikapi persoalan sandal jepit di Palu yang telah menjadi kabar mendunia tersebut.

"Kasus sandal itu telah membuat anak-anak mengkritisi hukum. Mereka peduli untuk teman kita di Palu. Sandal yang hanya alas kaki tetapi telah menghebohkan sampai pengadilan. Bukan sekadar masalah sandal, tetapi mengapa dari sisi hukum, cuma sandal bisa merepotkan negara," katanya.

Lain lagi dengan suguhan kolaborasi empat remaja putri yakni Sekar Arum Mawarni Agatha (16), anggota grup Teater Gadung Mlati Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Sinta Vitri Noviah (12) dan Aliva Enggar Rahayu (12), keduanya komunitas seniman petani Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, di kawasan Gunung Merapi, serta Atika (15), remaja korban banjir lahar Gunung Merapi melewati Kali Putih di Desa Sirahan, Kecamatan Salam.

Sinta dan Aliva yang masing-masing mengenakan pakaian anak adat Jawa, berselempang kain batik memainkan gerak tari bertajuk "Tembang Sandal", serta Sekar mengenakan rajutan sandal jepit berbagai ukuran, memegang tongkat dan bermahkota sandal, serta mengenakan sayap berbentuk sepasang sandal raksasa, memainkan tarian "Joget Sandal".

Dua performa gerak tari itu seakan berkolaborasi dengan Atika melalui pembacaan secara beruntun dua karya puisi bertema sandal jepit. Sajian nomor pentas kolaborasi itu juga diiringi tabuhan rebana secara tunggal oleh seorang lainnya korban banjir lahar melalui desa setempat, Miftah (15).

Sepenggal puisi Atika berjudul "Lahar Sandal Buset!" isinya, "Busett!!! Tahun ini sandal bisa membawa anak seumuran kami masuk terali besi. Anak yang tidak tahu hukum, seperti kami. Hai penguasa negeri. Inikah yang dimaksud keadilan? Dia hanya anak seumuran kami. Yang sekadar mencari sensasi. Untuk mengetahui jati diri, seperti kami. Karena dia dan kami adalah cikal penerus negeri. Yang akan menggantikan tahtamu yang membuai. Dan membuatmu lupa diri. Ini hanya pencarian jati diri. Bukan profesi kami".

Puisi lainnya berjudul "Tangisan Sandal" antara lain berbunyi, "Sandal... Walau hargamu miliaran. Takdirmu tetap diinjak. Tapi kini kau mampu membawa anak negeri masuk bui. Hukum apa ini? Sandal!!! Kami menangis karenamu. Berteriak karenamu. Bahkan di sini karenamu. Karena kau melawan takdirmu. Kami ini anak negeri. Yang hidup di bumi yang berhati nurani. Tapi kenapa harus kami tanyakan nasib kami. Bahkan sandal lebih berarti dari harga diri".

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com