Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelisik Akar Konflik Agraria

Kompas.com - 09/01/2012, 02:08 WIB

Selain Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan juga punya kriteria tersendiri mengenai MHA sebagai subyek tanah hak ulayat. Kementerian Pertanian melalui UU No 18/2004, khususnya dalam penjelasan Pasal 9 Ayat (2), juga punya kriteria yang berbeda. Demikian pula penjelasan Pasal 6 Ayat (3) UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air serta Pasal 1 angka 31 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Melihat pengakuan dengan syarat dan setiap instansi membuat peraturan sendiri-sendiri akan menimbulkan kebingungan dan tabrakan kepentingan pada aras pelaksanaannya. Bukan hanya pada pemerintah daerah, melainkan juga tabrakan antarinstansi pemerintah. Misalnya, banyak pengusaha perkebunan kelapa sawit yang belum memiliki izin HGU sudah mengoperasikan kebunnya hanya berbekal izin lokasi dan izin usaha dari kabupaten (Kompas, 2 November 2009). Lebih parah lagi, banyak pemerintah daerah tidak lagi mengakui keberadaan tanah hak ulayat.

Untuk menghindari klaim sepihak dari investor, beberapa MHA dengan bantuan LSM mengadakan pemetaan partisipatif. Inisiatif ini patut didukung karena hingga saat ini belum ada data dan peta luasan penguasaan tanah yang akurat dan lengkap yang bisa dipakai sebagai acuan tunggal. Setiap instansi pemerintah mempunyai peta sendiri-sendiri.

Redistribusi tanah

Penyerobotan lahan perkebunan oleh masyarakat lokal dan perambahan hutan sebenarnya dipicu oleh ketiadaan lahan garapan bagi petani gurem ataupun buruh tani. Solusi mengenai masalah ini sebenarnya sudah digulirkan sejak adanya UUPA dengan land-reform dengan redistribusi tanah bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan pertanian.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam beberapa pidato juga mengatakan hal yang sama. Kenyataannya hingga kini program itu tak jalan sehingga rakyat mencari jalannya sendiri dengan cara penyerobotan dan perambahan hutan.

Para penyelenggara negara sepertinya sudah lupa pada tujuan negara dan haluan negara yang tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Tujuan negara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, antara lain, bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan melaksanakan keadilan sosial berdasar Pancasila.

Realitas di lapangan menunjukkan semangat materialisme dan kapitalisme semakin menghegemoni para pejabat negara. Mereka tidak lagi melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan rakyat, tetapi justru mengingkari tugasnya. Rakyat dibiarkan berjuang hidup sendirian.

Wawasan lingkungan

Era otonomi daerah telah melahirkan salah persepsi yang kebablasan. Sumber daya alam dan mineral dieksploitasi serampangan. Kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan operasi pertambangan di sejumlah daerah tak lagi peduli pada kelestarian lingkungan. Aktivitas pertambangan yang tidak peduli restorasi, reklamasi, dan rehabilitasi ini justru tidak dilarang oleh pemerintah daerah.

Peraturan perundang-undangan pun sudah dibuat serapi-rapinya, baik dalam UU Mineral dan Batubara maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, lemah di tingkat implementasi dan penegakan hukum. Tidak hanya di ranah eksekutif, di ranah yudikatif juga tidak ada dukungan terhadap kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Lengkap sudah rentetan masalah lingkungan hidup. Jika sudah begini, kepada siapa rakyat mengadu?

 Sukirno Dosen Hukum Adat dan Antropologi Hukum FH Undip

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com