Masuknya partai-partai baru, seperti Partai Demokrat dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), menjadi faktor kuat yang memengaruhi perubahan tersebut. Bahkan, Partai Demokrat dapat merebut satu wilayah yang sebelumnya dikuasai Golkar. Dari lima kabupaten dan satu kota yang dikuasai Golkar pada Pemilu 2004, Kabupaten Boalemo dikuasai Partai Demokrat.
Di wilayah lain, posisi teratas Golkar juga dibayangi partai lama dan baru. Di Kota Gorontalo, misalnya, PPP membayangi Golkar dengan selisih tipis, 2.449 suara. Di Kabupaten Bone Bolango, Partai Hanura melesat ke urutan kedua. Partai Hanura menduduki tempat ketiga di Kabupaten Gorontalo, di atas Partai Demokrat. Konstelasi baru ini menjadikan Partai Hanura dan Partai Amanat Nasional (PAN) masuk lima besar perolehan suara terbanyak di Gorontalo.
Perubahan peta penguasaan parpol juga berimplikasi pada kontestasi pilkada. Dari tiga kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada tahun 2010 (Pohuwato, Bone Bolango, Gorontalo), dua kursi bupati justru dimenangi oleh pasangan dari jalur independen.
Di Bone Bolango dimenangi pasangan Haris Nadjamudin-Hamim Pou, sedangkan di Kabupaten Gorontalo dimenangi David Bobihoe-Tony Junus.
Partai Golkar hanya mampu memenangkan calonnya di Kabupaten Pohuwato lewat pasangan Syarief Mbuinga-Amin Haras. Itu pun berkoalisi dengan partai lain. Di tiga kabupaten/kota lainnya (Kota Gorontalo, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo Utara), Partai Golkar harus menjalin koalisi dengan partai lain untuk memenangkan calonnya, yakni di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo Utara.
Sulit dimungkiri di tengah minimnya kepala daerah dari jalur independen, munculnya calon kepala daerah dari jalur independen (nonparpol) merupakan berita menyejukkan. Namun bukan berita bagus bahwa hawa sejuk politik itu pada akhirnya terantuk pada lingkaran elite yang berujung oligarki.(LITBANG KOMPAS)