Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lemahnya Demokrasi di Akar Rumput

Kompas.com - 30/09/2011, 02:54 WIB

Antonius Purwanto

Pembentukan sikap dan perilaku yang demokratis sesungguhnya merupakan esensi konsolidasi demokrasi. Pembentukan sikap dan perilaku itu tentu saja berlaku untuk semua komponen bangsa, baik elite ataupun masyarakat. Hal itu pula yang coba disajikan dalam laporan konsolidasi demokrasi setiap bulan. Kali ini laporan dari Provinsi Gorontalo, yang diturunkan mulai hari ini sampai 7 Oktober 2011.

Agak sulit menemukan pola ideal konsolidasi demokrasi di Gorontalo. Alih-alih menjadi sarana transformatif yang memperjuangkan nasib rakyat, wacana politik yang pragmatis-transaksional tampaknya lebih mengemuka.

Hiruk pikuk pemilihan umum kepala daerah (pilkada) dan mahalnya praktik berpolitik hari-hari ini menjadi sebuah paradoks di tengah deretan persoalan di Gorontalo. Daerah pemekaran Sulawesi Utara yang berdiri tahun 2001 ini masih dibebani berbagai persoalan riil.

Tingkat kemiskinan di Gorontolo mencapai 18 persen dari jumlah penduduk, menempati peringkat ke-27 dari 33 provinsi di Indonesia. Jumlah pengangguran pada Februari 2011 mencapai lebih 21.000 orang dari sekitar 1,1 juta penduduk. Di daerah dengan infrastruktur publik yang belum memadai itu kini direpotkan pula dengan merebaknya perilaku korup di tengah kapasitas birokrasi yang lemah.

Dalam konteks proses demokratisasi, partisipasi publik juga terpantau relatif minim yang terindikasi antara lain dari minimnya sirkulasi politik di level elite. Lebih parah dari itu, bahkan elite cenderung memaknai demokrasi sebagai kompromi politis memperebutkan kekuasaan.

Bursa pencalonan pemilihan Gubernur Gorontalo menjadi bukti konkret. Pilkada gubernur yang bakal digelar pada 16 November 2011 kini diramaikan tiga pasangan calon yang sebagian besar elite lokal dengan latar belakang petahana.

Pasangan Gusnar Ismail dan Tonny Uloli saat ini masih menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo. Rusli Habibie, selain sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Gorontalo, juga masih sebagai Bupati Gorontalo Utara dan Idris Rahim yang baru saja melepaskan jabatannya sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo.

Selanjutnya, David Bobihoe Akib yang Bupati Gorontalo periode kedua melalui Partai Golkar tetapi maju kembali untuk berusaha merebut posisi gubernur lewat jalur independen. Pasangannya, Nelson Pomalingo, adalah mantan Rektor Universitas Negeri Gorontalo.

Pasangan Rusli Habibie-Idris Rahim maju lewat dukungan Partai Golkar dan PPP, sedangkan Gusnar Ismail-Tonny Uloli didukung Partai Hanura, Gerindra, PKS, PBB, Demokrat, PKNU. Artinya, tidak ada pasangan calon dari mantan penguasa wilayah. Apa yang terjadi dengan lambannya sirkulasi elite politik di Gorontalo?

Kekerabatan

Berbeda dengan karakter demografis di provinsi induk Sulawesi Utara, Gorontalo dihuni oleh warga dari etnis Gorontalo yang umumnya memeluk agama Islam. Warna kekerabatan dan hubungan keluarga masih mengakar kuat hingga saat ini dan tampaknya kuat berimbas di ranah kontestasi politik lokal.

Meskipun tidak diakui secara terbuka, pengaruh kuatnya klan tidak terbantahkan dalam panggung politik lokal. Di bawah permukaan, ikatan-ikatan kekerabatan masih berkelindan dengan agenda politik kekuasaan.

Proses konsolidasi demokrasi di Gorontalo masih terpusat pada struktur elite sosial yang kemudian naik kelas menjadi elite politik. Tak terelakkan, jabatan pemerintahan eksekutif dan legislatif diduduki figur-figur kuat dari klan-klan atau keluarga besar tertentu. Nama Habibie, Wartabone, Gobel, Bobihoe, Pakaya, Monoarfa, Katili, Boking, dan Botutihe adalah sejumlah nama klan yang dianggap cukup berpengaruh di Gorontalo.

Secara kultural, keluarga-keluarga itu biasanya menempati daerah asal tertentu. Nama keluarga dan daerah asal pada gilirannya memberi kontribusi besar dalam ajang kontestasi politik pilkada yang ujungnya sering kali adalah oligarki kekuasaan lokal. Ikatan kekuatan parpol terjalin dari ikatan kekerabatan dan hubungan keluarga dalam satu klan.

Selain soal kekerabatan, proses konsolidasi demokrasi di Gorontalo juga diwarnai lemahnya elite politik, partai politik, dan masyarakat sipil. Di Gorontalo, gerakan civil society nyaris tidak berdaya dan cenderung diam. Masyarakat hanya ramai berbicara di warung-warung kopi tanpa mampu memengaruhi arah kebijakan. Kalangan akademisi pun nyaris tidak terdengar suaranya.

Merujuk pada pendapat Funco Tanipu, sosiolog Universitas Negeri Gorontalo, penguatan elite politik Gorontalo akan gagal jika tidak terbangun hubungan partisipatoris berlandaskan akuntabilitas politik antara elite dan masyarakat.

Merunut pelaksanaan pilkada, konsolidasi demokrasi masih berkutat pada konsolidasi elite mempertahankan status quo yang belum sampai pada tataran masyarakat. Perjuangan memperluas wilayah civil society menjadi agenda penting bagi Gorontalo.

Jalur independen

Sebagaimana umumnya warna politik wilayah lain di Sulawesi, Provinsi Gorontalo sebelumnya juga basis pemilih Golkar. Dominasi beringin mulai terusik pada Pemilu 2009. Perolehan suara dan penguasaan basis wilayah konstituen Golkar terus menurun.

Masuknya partai-partai baru, seperti Partai Demokrat dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), menjadi faktor kuat yang memengaruhi perubahan tersebut. Bahkan, Partai Demokrat dapat merebut satu wilayah yang sebelumnya dikuasai Golkar. Dari lima kabupaten dan satu kota yang dikuasai Golkar pada Pemilu 2004, Kabupaten Boalemo dikuasai Partai Demokrat.

Di wilayah lain, posisi teratas Golkar juga dibayangi partai lama dan baru. Di Kota Gorontalo, misalnya, PPP membayangi Golkar dengan selisih tipis, 2.449 suara. Di Kabupaten Bone Bolango, Partai Hanura melesat ke urutan kedua. Partai Hanura menduduki tempat ketiga di Kabupaten Gorontalo, di atas Partai Demokrat. Konstelasi baru ini menjadikan Partai Hanura dan Partai Amanat Nasional (PAN) masuk lima besar perolehan suara terbanyak di Gorontalo.

Perubahan peta penguasaan parpol juga berimplikasi pada kontestasi pilkada. Dari tiga kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada tahun 2010 (Pohuwato, Bone Bolango, Gorontalo), dua kursi bupati justru dimenangi oleh pasangan dari jalur independen.

Di Bone Bolango dimenangi pasangan Haris Nadjamudin-Hamim Pou, sedangkan di Kabupaten Gorontalo dimenangi David Bobihoe-Tony Junus.

Partai Golkar hanya mampu memenangkan calonnya di Kabupaten Pohuwato lewat pasangan Syarief Mbuinga-Amin Haras. Itu pun berkoalisi dengan partai lain. Di tiga kabupaten/kota lainnya (Kota Gorontalo, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo Utara), Partai Golkar harus menjalin koalisi dengan partai lain untuk memenangkan calonnya, yakni di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo Utara.

Sulit dimungkiri di tengah minimnya kepala daerah dari jalur independen, munculnya calon kepala daerah dari jalur independen (nonparpol) merupakan berita menyejukkan. Namun bukan berita bagus bahwa hawa sejuk politik itu pada akhirnya terantuk pada lingkaran elite yang berujung oligarki.(LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com