Kelima, political corruption, yakni penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang dipercayakan kepada seseorang untuk mendapatkan keuntungan bagi parpol tertentu yang berkaitan dengan kekuasaan. Tipe korupsi ini biasanya terjadi menjelang pemilu untuk membiayai keuangan parpol. Dalam konteks Indonesia, paling tidak dalam satu dekade belakangan ini, sulit dinafikan keterkaitan antara beberapa megaskandal korupsi dan penyelenggaraan pemilu.
Kembali kepada kasus korupsi yang melibatkan sejumlah parpol di Indonesia, tentu saja dengan cepat parpol akan berdalih bahwa yang dilakukan oknumnya bukanlah garis partai atau parpolnya akan mengatakan ”tidak pada korupsi”. Namun, disadari atau tidak, dengan membiarkan oknum partainya mengisi kas partai dengan merampok uang negara, sebenarnya korupsi tersebut telah dilakukan secara sistematis dan terorganisasi oleh parpol bersangkutan.
Di sisi lain, aparat penegak hukum seakan dibuat tak berdaya mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan parpol. Ini tak hanya berkaitan dengan profesionalisme aparat, lebih dari itu, substansi hukum yang dibuat DPR tak akan mungkin menjerat parpol secara institusional. Artinya, jika terjadi korupsi yang masif dilakukan fungsionaris parpol, kasus hanya akan berhenti pada pribadi-pribadi yang melakukan korupsi kendati dapat dibuktikan bahwa uang hasil korupsi itu disumbangkan kepada parpol bersangkutan.
Ada beberapa solusi untuk menghindari korupsi parpol. Pertama, harus ada larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara yang juga fungsionaris parpol. Kedua, harus ada akuntabilitas dan transparansi pendanaan parpol sebagaimana yang diwajibkan dalam Pasal 7 Ayat (3) Konvensi PBB mengenai Antikorupsi yang telah diratifikasi Indonesia. Ketiga, jika korupsi yang dilakukan fungsionaris parpol adalah kejahatan sistematis dan terorganisasi oleh parpol, baik langsung atau tidak, harus ada sanksi tegas dengan tidak mengikutsertakan parpol tersebut dalam pemilu berikutnya atau bahkan membubarkan parpol tersebut.