KOMPAS.com — Lho? Satu kata tanya ini pasti akan langsung terpikirkan ketika mendengar bahwa ada sejumlah kelompok yang tidak menghendaki disahkannya Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Massa pro-kontra Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) pun kerap berjumpa di jalanan ketika sedang menggelar aksi-aksi demonstrasi. Konferensi pers secara bergantian pun hadir di gedung dan restoran untuk mendukung dan menolak RUU BPJS.
Kubu menolak RUU BPJS dimotori oleh mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Dengan gamblang, Siti menjelaskan alasan mendasar penolakan terhadap RUU BPJS dalam keterangan pers di Gedung DPR RI beberapa waktu lalu. Menurutnya, RUU BPJS yang tengah dibahas di DPR bertentangan dengan semangat UUD 1945. Apa alasannya?
Pertama, Siti menilai konsep penarikan iuran wajib tanpa pandang bulu dari setiap warga negara setiap bulan seperti yang tertulis dalam Pasal 17 UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tidak adil. Undang-undang ini adalah dasar pembentukan BPJS.
Kedua, ada sanksi yang mengikat bagi warga negara yang tak bisa membayar iuran. Ketiga, majikan juga diwajibkan menarik iuran dari buruhnya. Terakhir, Siti pun menilai ada kepentingan asing di balik upaya mengesahkan RUU BPJS.
"Jadi, meski BPJS itu katanya jaminan sosial, tetapi intinya menarik iuran paksa. Ini akan menguntungkan (negara). Tidak sesuai dengan konstitusi," ujarnya.
Menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini, sistem iuran justru membuat RUU BPJS jelas-jelas melanggar konstitusi karena mengubah jaminan sosial yang seharusnya adalah hak rakyat menjadi kewajiban rakyat.
Akibatnya, memiskinkan rakyat serta mempertajam konflik majikan dan buruh. Belum lagi konsep peleburan empat BUMN yang membahayakan dana rakyat triliunan rupiah.
Siti menegaskan, UUD 1945 telah mengatur bahwa jaminan sosial merupakan kewajiban negara terhadap seluruh rakyat sebagai perwujudan perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak warga negara. Maka sudah selayaknya, negaralah yang bertanggung jawab. Jika diterapkan dengan sistem iuran, Siti berpendapat ini tak ubahnya seperti asuransi.
"Jaminan sosial dan asuransi sosial itu isinya jauh berbeda. Jaminan sosial itu jaminan sosial. Kalau asuransi sosial, rakyat disuruh nyicil sendiri. Hati-hati kalau BPJS ditetapkan. Tukang bakso, tukang singkong itu harus membayar. Kalau enggak bayar, itu ada sanksi. Ini jahatnya. UU kok malah menginjak rakyat. Jadi tiap peserta wajib membayar," tegasnya.