Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mampir di Museum Adityawarman

Kompas.com - 30/06/2011, 13:36 WIB

"Bagian pelaminan yang disukai karena kental adat Minangkabau. Pelaminan ini unik karena adanya sudah lama, warna dan motifnya dipengaruhi berbagai  daerah, juga budaya China dan India. Dulunya para pegadang Gujarat dan China berkembang di Padang ini," jelas Armus.

Hal tersebut diungkapkan pula oleh Ika, wisatawan domestik asal Jakarta. "Saya paling suka dengan pelaminannya. Tapi sayang ya museum ini seperti  kurang terawat," katanya.

Memang, beberapa alat peraga tampak berdebu. Lantai bawah bahkan terkesan gelap dan ditata seadanya. Kesan membosankan dari tata pamer museum tersebut sangat terasa. Walau begitu, tak dapat dipungkiri wisatawan banyak yang berkunjung ke museum ini.

"Museum ini termasuk yang mendapat dana revitalisasi museum dari pusat. Renovasi tahun ini akan sampai lantai bawah. Beberapa koleksi akan diganti, pemajangan dan lantai juga  diganti. Nantinya sistem pemajangan akan diganti lebih menarik dan lebih mewah," ungkap Armus.

Renovasi ini diperlukan karena pasarnya memang ada. Tak hanya wisatawan domestik, di bulan-bulan tertentu museum dikunjungi wisatawan asing. Kunjungan turis dari Belanda, Inggris, Malaysia, dan Singapura menjadi langganan Museum Adityawarman.

"Hari libur bisa seribu orang  per hari. Apalagi libur sekolah. Banyak dari luar daerah yang datang  seperti dari Riau, Bengkulu, Jambi. Kalau dari Riau mengkhususkan datang ke sini tiap tahun. Ada jadwalnya dari sekolah-sekolah. Jadi selain rekreasi juga sambil belajar," ujar Armus.

Di lantai bawah terdapat ruangan khusus membahas mengenai budaya Suku Mentawai. Suku ini menerapkan adat istiadat yang sangat berbeda dengan saudara satu provinsinya yaitu Suku Minang. Suku Mentawai menerapkan sistem kekerabatan patrilineal.

Mungkin Anda penasaran mengapa museum tersebut diberi nama Museum Adityawarman. Ternyata, menurut Armus, museum tersebut diberi nama Adityawarman untuk mengenang jasa Adityawarman sebagai Raja Pagaruyung yang pernah memerintah sekitar abad ke-14.

Jika mendengar kata Pagaruyung, maka memori akan membawa kita ke rumah gadang lainnya yang sama-sama megah yaitu Istano Basa Pagaruyung yang terletak di Kabupaten Tanah Datar. Rumah gadang itu adalah bekas istana Raja Pagaruyung. Namun karena pernah mengalami kebakaran di masa kolonial Belanda, istana yang ada sekarang merupakan replika dari istana sebenarnya.

Sedihnya, di tahun 2007 lagi-lagi bangunan tersebut mengalami kebakaran. Istana pun ludes tak tersisa. Sebagian besar koleksi yang berada di dalamnya tak berhasil diselamatkan. Hingga saat ini, proses renovasi masih terus berjalan. Namun, Istano Basa Pagaruyung telah kembali berdiri megah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com