Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mampir di Museum Adityawarman

Kompas.com - 30/06/2011, 13:36 WIB

KOMPAS.com - Rumah gadang itu berdiri megah bagaikan seekor gajah yang tengah duduk. Bangunan itu adalah Museum Adityawarman. Museum tersebut terletak di Kota Padang, Sumatera Barat.

"Bangunan ini adalah Rumah Gadang dengan tipe gajah maharam, diumpamakan seperti seekor gajah yang mendekam. Berasal dari kelarasan Budi Chaniago," kata Armus dari Museum Adityawarman. Dulu ia berprofesi sebagai pemandu di museum tersebut. Kini ia bekerja di bagian perawatan koleksi museum.

Rumah gadang memang identik dengan budaya Minang. Apalagi di masa modern seperti sekarang ini, rumah gadang sudah mulai jarang dibuat. Padahal rumah gadang adalah cerminan kearifan lokal di bidang arsitektur. Struktur rumah  gadang  pada umumnya tahan gempa. Seperti Museum Adityawarman yang selamat dari gempa tahun 2009, walaupun bangunan sekitarnya seperti hotel-hotel sebagian besar roboh.

"Museum ini  dibangun tahun 1974 dan diresmikan tahun 1977. Dari tahun 1977 sampai sekarang, kayunya tidak masalah, masih kuat. Beberapa kali  digoncang gempa tidak apa-apa. Insya Allah, tidak pernah bermasalah. Bangunan ini sebenarnya layak untuk dihuni," tutur Armus. Jika museum tersebut menjadi rumah tinggal, maka menurut Armus, rumah gadang  tersebut akan ditempati empat sampai lima keluarga inti.

Museum Adityawarman merupakan museum budaya yang menampilkan adat istiadat suku Minang. Salah satunya adalah menampilkan kamar-kamar yang biasa terdapat di rumah gadang.

"Laki-laki sebelum menikah tidak dapat kamar. Tidurnya di surau untuk belajar agama dan silat. Jadi tidak tidur di rumah keluarga. Praktek ini masih berjalan sekarang terutama di daerah pedesaan. Saya sendiri masih  mengalaminya. Saat umur lima tahun saya sudah tidur di surau untuk belajar mengaji," kata Armus yang berasal dari Kabupaten Limapuluh Kota.

Di museum tersebut, pengunjung bisa belajar mengenai sistem kekerabatan yang  unik dari Minangkabau. Berbeda dari daerah-daerah lainnya di Indonesia yang pada umumnya memegang sistem kekerabatan patrilineal, Minangkabau menggunakan sistem matrilineal. Armus menjelaskan di Minangkabau peran wanita lebih tinggi.

"Anak menurut suku ibu. Aktivitas perempuan  di Minang lebih banyak. Dari melahirkan anak sampai mendidik. Mereka jujga beraktivitas seperti di bidang pertanian. Jadi aktif secara ekonomi, bukan sekedar di rumah  saja," jelas Armus.

Aktivitas perempuan Minang dipaparkan dengan apik di area museum. Mulai dari mengasuh anak, memasak untuk keluarga dan lingkungan lebih  luas, sampai tradisi lisan berupa pantun sebagai sarana ibu  menanamkan nilai kehidupan bagi anak.Belum lagi aneka kegiatan keterampilan seperti menjahit, menenun, bertani, berdagang, hingga  kesenian. Beberapa kesenian menghadirkan perempuan sebagai penyanyi.

Kesenian banyak ditampilkan dalam upacara-upacara adat, salah satunya  adalah upacara pernikahan. Di salah satu sudut museum terdapat ruang peragaan pelaminan pernikahan adat Minang. Ruang tersebut, menurut Armus, merupakan pameran paling diminati pengunjung.

"Bagian pelaminan yang disukai karena kental adat Minangkabau. Pelaminan ini unik karena adanya sudah lama, warna dan motifnya dipengaruhi berbagai  daerah, juga budaya China dan India. Dulunya para pegadang Gujarat dan China berkembang di Padang ini," jelas Armus.

Hal tersebut diungkapkan pula oleh Ika, wisatawan domestik asal Jakarta. "Saya paling suka dengan pelaminannya. Tapi sayang ya museum ini seperti  kurang terawat," katanya.

Memang, beberapa alat peraga tampak berdebu. Lantai bawah bahkan terkesan gelap dan ditata seadanya. Kesan membosankan dari tata pamer museum tersebut sangat terasa. Walau begitu, tak dapat dipungkiri wisatawan banyak yang berkunjung ke museum ini.

"Museum ini termasuk yang mendapat dana revitalisasi museum dari pusat. Renovasi tahun ini akan sampai lantai bawah. Beberapa koleksi akan diganti, pemajangan dan lantai juga  diganti. Nantinya sistem pemajangan akan diganti lebih menarik dan lebih mewah," ungkap Armus.

Renovasi ini diperlukan karena pasarnya memang ada. Tak hanya wisatawan domestik, di bulan-bulan tertentu museum dikunjungi wisatawan asing. Kunjungan turis dari Belanda, Inggris, Malaysia, dan Singapura menjadi langganan Museum Adityawarman.

"Hari libur bisa seribu orang  per hari. Apalagi libur sekolah. Banyak dari luar daerah yang datang  seperti dari Riau, Bengkulu, Jambi. Kalau dari Riau mengkhususkan datang ke sini tiap tahun. Ada jadwalnya dari sekolah-sekolah. Jadi selain rekreasi juga sambil belajar," ujar Armus.

Di lantai bawah terdapat ruangan khusus membahas mengenai budaya Suku Mentawai. Suku ini menerapkan adat istiadat yang sangat berbeda dengan saudara satu provinsinya yaitu Suku Minang. Suku Mentawai menerapkan sistem kekerabatan patrilineal.

Mungkin Anda penasaran mengapa museum tersebut diberi nama Museum Adityawarman. Ternyata, menurut Armus, museum tersebut diberi nama Adityawarman untuk mengenang jasa Adityawarman sebagai Raja Pagaruyung yang pernah memerintah sekitar abad ke-14.

Jika mendengar kata Pagaruyung, maka memori akan membawa kita ke rumah gadang lainnya yang sama-sama megah yaitu Istano Basa Pagaruyung yang terletak di Kabupaten Tanah Datar. Rumah gadang itu adalah bekas istana Raja Pagaruyung. Namun karena pernah mengalami kebakaran di masa kolonial Belanda, istana yang ada sekarang merupakan replika dari istana sebenarnya.

Sedihnya, di tahun 2007 lagi-lagi bangunan tersebut mengalami kebakaran. Istana pun ludes tak tersisa. Sebagian besar koleksi yang berada di dalamnya tak berhasil diselamatkan. Hingga saat ini, proses renovasi masih terus berjalan. Namun, Istano Basa Pagaruyung telah kembali berdiri megah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com