Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalur Maut TKI

Kompas.com - 22/06/2011, 04:59 WIB

Dulu semasa penjajahan, nyawa dipertaruhkan demi kemerdekaan bangsa. Kini setelah Indonesia merdeka hampir 66 tahun, nyawa ternyata masih jadi taruhan, bukan demi kemerdekaan, tetapi demi menyambung hidup yang ironisnya justru semakin terasing aksesnya di negeri sendiri.

Peristiwa terbaliknya kapal pompong di Selat Singapura, Rabu (1/6) dini hari, yang membawa 24 tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal adalah potret telanjang pertaruhan itu. Semua berawal dari hasrat pulang kampung TKI membawa sejumlah ringgit hasil perasan keringat selama bekerja di Malaysia.

Menggunakan jasa calo, sebanyak 24 TKI tak berdokumen, semuanya pria, berangkat dari Tanjung Pengelih di Malaysia menuju Batam pukul 04.00 waktu setempat. Di tengah laut, kapal tanpa pelampung berukuran 2 meter x 9 meter itu diterjang ombak sampai karam.

Sebanyak 17 orang selamat setelah drama survival selama enam jam. Seluruh uang tabungan mereka ludes. Tak ada yang tersisa kecuali nyawa dan pakaian yang melekat di badan. Namun, tujuh orang lainnya tewas. Dari tujuh mayat, hanya lima di antaranya yang teridentifikasi.

Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan, tewasnya tujuh TKI tidak berdokumen itu adalah tragedi kemanusiaan. Ironinya, Pemerintah RI meresponsnya biasa saja.

Jalur TKI tidak berdokumen adalah jalur tikus yang syarat risiko sejak keberangkatan, selama bekerja di Malaysia, sampai kepulangan. Kematian adalah risiko paling fatal dan awal sekaligus akhir yang mengendus TKI.

Kapal pompong untuk menyeberang dari Kepulauan Riau ke Malaysia dan sebaliknya rentan terbalik diterjang ombak. Tanpa fasilitas pengamanan standar seperti pelampung, nyawa benar-benar di ujung tanduk selama 1,5 jam perjalanan.

Angkernya risiko jalur tikus bukannya tak disadari. Namun, motif ekonomi diimpit langkanya lapangan kerja di dalam negeri mencetak energi yang membulatkan tekad sampai pada bentuk nekat. Lagipula, jalur tersebut dianggap lebih murah dan cepat dibanding jalur resmi.

Susilo (35), buruh tani di Madiun, Jawa Timur, dua kali bekerja di Malaysia. Pertama lewat jalur resmi, kedua melalui jalur tikus. Jalur resmi yang prosedurnya lama dengan bumbu pungutan liar butuh modal sedikitnya Rp 7 juta. Sementara jalur tikus modalnya hanya Rp 3 juta, meliputi jasa transportasi Batam-Malaysia berikut penempatan kerja oleh calo.

Padahal, upah yang didapatkan sama saja. ”Malah kalau lewat jalur resmi, gaji TKI selama tujuh bulan pertama ditarik PJTKI sebagai pengembalian modal,” kata Susilo.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com