Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Lokal dan Paradoks Demokratisasi

Kompas.com - 01/06/2011, 05:25 WIB

Kelompok neoliberal/neoinstitusional percaya bahwa globalisasi ekonomi akan mendorong munculnya praktik-praktik dan lembaga-lembaga demokratis di ranah lokal. Mereka percaya pada kaitan alamiah antara pasar bebas global dengan kebangkitan demokrasi dan desentralisasi (hal 2). Integrasi ke dalam ekonomi global diyakini akan mendorong pemerintahan lokal untuk memiliki tanggung jawab dan kapasitas efisiensi dalam pelayanan publik.

Sedangkan kelompok lokal-populis memandang globalisasi ekonomi itu sebagai ancaman bagi komunitas-komunitas lokal, terutama masyarakat marjinal. Globalisasi neoliberal dianggap telah mengandung sifat-sifat yang antidemokratis. Rekomendasi-rekomendasi kebijakan neoliberal juga dinilai terlampau mengabaikan pluralitas sosio-historis masyarakat lokal. Pandangan ini banyak dianut oleh kelompok-kelompok LSM di Indonesia dan umumnya di negara pasca-otoritarian Asia Tenggara.

Namun, sejak awal 1990-an terjadi perubahan besar dalam paradigma pembangunan di kalangan lembaga internasional. Kelompok neoliberal, yang disponsori Bank Dunia, tidak lagi memandang negara sebagai leviathan, pemegang kekuasaan mutlak sebagaimana digambarkan Thomas Hobbes (1651), melainkan sebagai kekuatan yang mampu mengelola jejaring dan hubungan sosial untuk mempercepat pembangunan ekonomi.

Mereka mengubah paradigma pembangunan, dari orientasi pemangkasan peranan negara menjadi pemberdayaan politik akar-rumput. Tidak mengherankan, ketika di Indonesia, juga di Asia Tenggara, kemudian banyak LSM yang anti-neoliberal sekalipun giat dalam program-program yang disponsori Bank Dunia, yang memfokuskan pada komunitas lokal dan partisipasi politik.

Buku Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective ini merupakan studi komparatif tentang pelbagai paradoks agenda demokratisasi di negara-negara pasca-otoritarian Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Sangat berguna untuk memahami kontestasi politik sebagai manifestasi dari dinamika hubungan kekuasaan akibat tekanan globalisasi ekonomi neoliberal dan bangkitnya politik lokal. Dengan kata lain, buku ini merupakan upaya Vedi Hadiz untuk memahami pola-pola reorganisasi kekuasaan pasca-otoritarian melalui lensa politik lokal di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Teknokratis dan predatoris

Vedi menata bukunya dalam enam bab besar sebagai kumpulan esai tematik. Bab pertama menyajikan perdebatan kritis tentang hubungan desentralisasi, pembangunan, dan demokrasi. Tidak seperti kelompok neoinstitusionalis, Vedi skeptis dengan hubungan ketiga wacana ini. Memang mereka percaya bahwa masyarakat sipil yang aktif akan menopang demokratisasi melalui peningkatan partisipasi politik dalam pembangunan. Namun, aspek partisipasi ini segera terpinggirkan karena, pada sisi yang lain, mereka juga menegaskan pentingnya dimensi teknokratisme. Dominannya penjelasan terakhir ini dalam pelbagai rekomendasi kebijakan telah melahirkan hegemoni baru: bahwa reformasi local governance hanya bisa dijalankan dengan cara-cara teknokratis dan manajerialis melalui birokrasi negara.

Paradoks-paradoks demokratisasi neoinstitusionalisme di negara-negara bekas rezim otoriter diperiksa dalam bab kedua. Bagian ini mengkaji bagaimana peranan dan kontestasi antara ”elite-elite termodernkan” yang teknokratik pada satu sisi dan ”bosisme lokal” pada sisi yang lain dalam pelbagai kontestasi yang terkait dengan isu lokalisasi kekuasaan.

Literatur-literatur transisi demokrasi pada umumnya berasumsi bahwa demokratisasi di negara pasca-otoritarian adalah ihwal membangun lembaga demokrasi ”yang benar” dan pakta kekuatan elite baru yang ”termodernkan”. Sebaliknya, Vedi menegaskan bahwa ”pembajakan” lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia merupakan akibat dari kegagalan reformasi untuk membendung kekuatan oligarkis lama dan koalisi-koalisi predatoris.

Bab ketiga buku ini mendedah kompleksitas politik di Indonesia pasca-otoritarian, terutama tentang dinamika perubahan kelembagaan, termasuk sistem pemilu dan partai politik. Dalam bab ini, Vedi membumikan argumen-argumen besarnya tentang hubungan yang kompleks dan paradoks antara desain reformasi kelembagaan dan pertarungan kekuasaan dalam konteks pengalaman politik desentralisasi di Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com