Dua bab selanjutnya menguraikan bagaimana dan dengan cara apa kekuatan-kekuatan predatoris membajak lembaga-lembaga demokrasi. Tuntutan kontestasi untuk merebut dan mengontrol pelbagai lembaga dan sumber daya lokal semakin mendorong para elite untuk terus menciptakan jejaring kekuasaan predatoris di level lokal (hal 118). Bab kelima secara khusus membahas teknik dan aliansi pembentukan jejaring kekuasaan predatoris di level lokal melalui politik uang dan instrumen-instrumen kekerasan.
Bab terakhir mengkaji perbandingan karakter umum partisipasi politik dan fenomena kebangkitan oligarkisme lokal di Asia Tenggara. Argumen utamanya adalah bahwa demokratisasi yang secara teknokratis didesain untuk memperluas jangkauan partisipasi politik justru menjadi arena baru bagi para elite lokal untuk mengamankan kepentingannya (hal 144).
Melalui kajian perbandingan antara Indonesia, Filipina, dan Thailand, buku ini menjadi ikhtiar Vedi Hadiz untuk menemukan pola-pola kekuasaan baru dalam konteks politik lokal di negara-negara pasca-otoritarian Asia Tenggara. Dengan mengungkapkan keterbatasan-keterbatasan pendekatan yang menekankan pada ”rekayasa” kelembagaan demokrasi, buku ini menjadi kritik fundamental bagi pendekatan neoinstitusional/ neoliberal yang dominan dalam diskursus pembangunan dan demokratisasi selama beberapa dasawarsa terakhir.