Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah Status Diumumkan

Kompas.com - 30/05/2011, 04:45 WIB

Oleh Adnan Topan Husodo

Akhirnya Nunun Nurbaeti ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan penyuapan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Goeltom beberapa hari lalu. Jeda antara penetapan resmi Nunun sebagai tersangka, yakni Februari, hingga pengumuman resmi oleh KPK pada Mei ini, memang relatif lama, yakni sekitar tiga bulan.

Pengumuman itu pun terasa berbeda karena disampaikan dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR, bukan di gedung KPK sendiri melalui konferensi pers, sebagaimana lumrah berlaku.

Ada informasi yang bisa dipercaya bahwa sebenarnya belum ada keputusan bulat di internal KPK untuk mengumumkan status baru Nunun sebagai tersangka kepada publik. Hal itu didasarkan pada alasan bahwa KPK sendiri masih terus berupaya mendeteksi kepastian di negara mana Nunun tinggal sebagai bagian dari ikhtiar untuk membawa Nunun pulang ke Indonesia.

Kekhawatirannya, jika KPK telanjur mengumumkan status tersangka Nunun, yang bersangkutan akan segera mencari negara baru untuk ditinggali.

Antara mengumumkan atau tidak mengumumkan memang membawa dilema tersendiri bagi KPK. Kasus yang lebih dikenal dengan sebutan cek pelawat (travel cheque) ini memang telah lama menyita perhatian publik luas, terutama karena sikap KPK yang dirasa terlalu lamban dalam memproses beberapa pihak yang diduga terlibat.

Demikian pula tuntutan para terdakwa lain yang sudah terlebih dahulu menghadapi proses persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) supaya KPK segera menetapkan Nunun sebagai tersangka terus disuarakan.

Pada sisi lain, jika KPK tidak bergerak maju, usaha untuk mengungkap kasus ini secara tuntas juga mengalami hambatan besar. Sulit bagi siapa pun untuk menerima jika kasus cek pelawat sudah selesai secara hukum hanya pada sisi penerima suap, yakni para anggota DPR dan mantan anggota DPR. Sementara, informasi yang dimiliki Nunun merupakan potongan informasi terakhir untuk memperjelas puzzle dari kasus cek pelawat ini.

Setidaknya, jika Nunun dapat dimintai keterangan oleh KPK dalam statusnya sebagai tersangka, hal itu diharapkan akan menggerakkan jarum penegakan hukum pada aktor lain yang belum disentuh sama sekali, termasuk di dalamnya Miranda Goeltom yang lebih banyak menjawab tidak tahu jika diperiksa oleh penyidik KPK. Pada akhirnya, informasi dari Nunun juga akan membuktikan apakah Miranda Goeltom selama ini memberikan keterangan bohong atau tidak.

Pekerjaan rumah

Pekerjaan rumah pasca-penetapan Nunun sebagai tersangka adalah bagaimana caranya supaya yang bersangkutan bisa dibawa ke Indonesia. KPK tentu saja tidak bisa bekerja sendirian.

Karena Nunun masih berada di luar negeri—kemungkinan besar di Thailand dan Singapura—KPK membutuhkan peran yang lebih besar dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM untuk membangun kerja sama bilateral dalam skema penegakan hukum, baik dalam payung G-to-G maupun Konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption).

Kementerian Luar Negeri diharapkan dapat menggunakan saluran diplomatiknya untuk mengupayakan dan mendesak pemerintah negara bersangkutan untuk membantu Indonesia dalam memulangkan Nunun. Sementara Kementerian Hukum dan HAM selaku pemangku otoritas kunci dalam kerja sama internasional, atas permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) maupun ekstradisi dari KPK, dapat mempercepat proses administrasinya.

KPK sendiri, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yakni Pasal 12 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dapat meminta bantuan Interpol Indonesia ataupun instansi penegak hukum di negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

Ketentuan ini diperkuat dengan pasal 41 pada UU yang sama yang menyatakan bahwa KPK dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui Pemerintah Indonesia.

Jangan pengadilan ”in absentia”

Dengan berbagai macam pendekatan di atas, harapan mengembalikan Nunun ke Indonesia akan lebih besar. Oleh karena itu, KPK dan para mitra kerjanya di negara lain (counterparts)-nya juga harus bisa mencegah supaya Nunun tidak mendapatkan status kewarganegaraan di negara mereka. Jangan sampai Nunun akhirnya diadili secara in absentia.

Jika pengadilan in absentia ditempuh, akan ada dua kerugian besar. Pertama, publik akan kehilangan kesempatan untuk mendengarkan pengakuan Nunun mengenai kasus cek pelawat yang sejelas-jelasnya. Tanpa keterangan Nunun, sulit rasanya KPK dapat menetapkan aktor lainnya sebagai tersangka baru. Kedua, secara internasional, hasil pengadilan in absentia tidak banyak diakui sehingga akan menyulitkan langkah Indonesia dalam mendorong kerja sama penegakan hukum dengan negara lainnya

Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com