Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemandekan Orientasi Partai Nasionalis

Kompas.com - 25/05/2011, 03:05 WIB

Menurut pengamat politik Universitas Diponegoro Semarang, Susilo Utomo, parpol semestinya menjalankan tiga orientasi agar bisa melakukan konsolidasi demokrasi. Pertama, mencari dukungan suara dalam pemilu. Kedua, meraih jabatan-jabatan publik. Ketiga, mengimplementasikan platform partai ketika menjadi penguasa.

Ciri inilah yang masih umum menjadi citra sebagian besar parpol dalam mengelola relasi dan komunikasi politik. Sering kali parpol hanyalah ”kendaraan sewa” yang bisa dipakai elite pemilik modal atau kekuasaan untuk meraih jabatan tertinggi di daerah, tetapi kemudian tujuan strategisnya terlupakan.

Belum optimal

Selain soal orientasi politik, kiprah parpol dalam konfigurasi politik Jateng masih bergerak dalam tatanan persaingan untuk sekadar merebut suara pemilih sebanyak mungkin. Kondisi ini membuat konsolidasi demokrasi di Jateng tampak tak bergerak. Indikator kegagalan itu adalah tidak berfungsinya rekrutmen politik yang bersifat demokratis dan terbuka melalui parpol.

Alih-alih bersikap demokratis sebagai jiwa partai nasionalis, pola rekrutmen dalam parpol cenderung oligarki sehingga hanya bergantung pada sekelompok elite di parpol. Parahnya, pola ini cenderung diterima, kalau tak mau dibilang sejalan, dengan kultur masyarakat Jateng yang paternalistis dan cenderung ikut kemauan pemimpin.

Kemenangan kader PDI-P dalam Pilkada Kendal 2010 menjadi contoh perekrutan calon pejabat daerah yang oligarkis, terpusat di tangan orang-orang dalam partai. Padahal, publik tahu bahwa sang kandidat adalah istri mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro yang terlibat kasus korupsi.

Perbedaan kepentingan antara calon yang diinginkan di dalam kepengurusan lokal dengan restu dari pusat juga menjadi kendala bagi konsolidasi parpol. Kekalahan pasangan Rustriyanto-Rini Kristiani adalah contoh perbedaan aspirasi tentang calon kepala daerah yang harus diusung PDI-P pada Pilkada Kebumen. Bagi sebagian pengurus, Rustriyanto tetap maju sebagai wakil bupati berpasangan dengan Bupati incumbent Nashiruddin Al Mansyur. Sementara pengurus PDI-P lainnya menginginkan Rustriyanto maju sebagai bupati. Perbedaan ini memunculkan friksi di tubuh partai yang berakibat pecah kongsi dengan Nashiruddin.

Pola perekrutan dan perbedaan aspirasi ini melahirkan ”anomali” politik yang cukup besar dalam pilkada di Jateng. Salah satu indikasinya adalah inkonsistensi parpol pemenang kepala daerah dengan parpol yang menjadi pemenang pemilu. Sebut saja Kabupaten Semarang. Pemilu 2009 berhasil dimenangi Partai Demokrat. Pada Pilkada 2010, calon dari Partai Demokrat justru kalah oleh calon dari koalisi PDI-P. Kasus serupa terjadi dalam Pilkada Kendal yang dimenangi pasangan yang diusung PDI-P. Padahal, Kendal pada Pemilu 2004 menjadi basis Partai Golkar.

Dalam Pilkada Blora (2010), calon PDI-P justru kalah di kandang sendiri. Blora yang dikenal sebagai basis PDI-P sejak lama, calon PDI-P justru kalah dari calon Demokrat yang terbilang sebagai pendatang baru. Kekalahan PDI-P juga terjadi pada Pilkada Wonogiri. Di daerah yang sudah kental dengan nuansa PDI-P ini, pilkada justru dimenangi oleh calon muka baru yang diajukan oleh PAN dan beberapa partai kecil lainnya. Di tubuh partai lain, dalam Pilwalkot Semarang, pasangan Mahfudz Ali dan Anis (Manis) yang dicalonkan oleh Demokrat justru kalah oleh Soemarmo-Hendi yang diusung PDI-P. Padahal, Kota Semarang merupakan basis massa terbesar Demokrat di Jateng.

Konstelasi politik lokal

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com