Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemandekan Orientasi Partai Nasionalis

Kompas.com - 25/05/2011, 03:05 WIB

SULTANI

Pengantar Redaksi:

Setelah menyajikan upaya konsolidasi demokrasi di Jawa Barat, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Tenggara sejak Januari lalu, bulan ini ”Kompas” melaporkan pergerakan dan konsolidasi politik di Jawa Tengah. Laporan dimuat mulai hari ini sampai dengan 1 Juni 2011.

***

Konsolidasi demokrasi di Jawa Tengah masih bertumpu pada optimalisasi peran partai politik sebagai elemen utama lanskap politik lokal. Sepak terjang dan orientasi parpol nasionalis sangat menentukan corak politik dan demokrasi yang berkembang.

Partai politik memiliki legitimasi dalam mentransformasi sistem politik tradisional yang feodalistis menjadi sistem politik modern yang demokratis. Parpol merupakan agen konsolidasi demokrasi yang menggeser sistem feodalistis yang berbasis kekuasaan personal menjadi sistem demokrasi yang berbasis pada kekuasaan rakyat. Parpol juga berperan sebagai agen konsolidasi demokrasi dalam menciptakan kesejahteraan rakyat.

Gambaran yang ideal tentang kiprah parpol sebagai agen konsolidasi demokrasi tersebut belum terlalu tampak di Jawa Tengah. Karena wilayah ini lama dikenal sebagai basis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), melihat Jateng bisa dengan melihat kiprah partai banteng moncong putih ini.

PDI-P yang memiliki basis massa fanatik dan partai pemenang di Jateng sejak Pemilu 1999 hingga 2009 hingga saat ini masih terlihat gagap menunjukkan jati diri sebagai partai ”wong cilik”. Ironisnya, hal itu terjadi pada saat kekuasaan sudah di tangan. Dalam beberapa kasus, PDI-P justru terkesan berpihak pada rencana yang merugikan para petani dan pekerja, kelas sosial yang menjadi saka guru suara partai.

Rencana pendirian pabrik semen di Kecamatan Sukolilo, Pati, misalnya, bagi masyarakat merupakan tindakan yang mengganggu kehidupan petani setempat. Pendirian pabrik dinilai akan menutup sumber mata air sekaligus lahan pertanian yang menjadi sumber kehidupan mereka sehari-hari. Ironisnya, rencana ini mendapat restu Gubernur Jateng dan Bupati Pati yang notabene tadinya didukung dan membawa citra PDI-P.

Contoh kegagalan PDI-P menerjemahkan tuntutan masyarakat soal pembangunan pabrik semen itu mencerminkan kedangkalan orientasi parpol alias terjadi reduksi orientasi parpol. Meskipun partai pemenang pemilu dan pilkada di Pati adalah PDI-P, partai ini gagal mengimplementasikan platform partai selama 10 tahun berkuasa.

Menurut pengamat politik Universitas Diponegoro Semarang, Susilo Utomo, parpol semestinya menjalankan tiga orientasi agar bisa melakukan konsolidasi demokrasi. Pertama, mencari dukungan suara dalam pemilu. Kedua, meraih jabatan-jabatan publik. Ketiga, mengimplementasikan platform partai ketika menjadi penguasa.

Ciri inilah yang masih umum menjadi citra sebagian besar parpol dalam mengelola relasi dan komunikasi politik. Sering kali parpol hanyalah ”kendaraan sewa” yang bisa dipakai elite pemilik modal atau kekuasaan untuk meraih jabatan tertinggi di daerah, tetapi kemudian tujuan strategisnya terlupakan.

Belum optimal

Selain soal orientasi politik, kiprah parpol dalam konfigurasi politik Jateng masih bergerak dalam tatanan persaingan untuk sekadar merebut suara pemilih sebanyak mungkin. Kondisi ini membuat konsolidasi demokrasi di Jateng tampak tak bergerak. Indikator kegagalan itu adalah tidak berfungsinya rekrutmen politik yang bersifat demokratis dan terbuka melalui parpol.

Alih-alih bersikap demokratis sebagai jiwa partai nasionalis, pola rekrutmen dalam parpol cenderung oligarki sehingga hanya bergantung pada sekelompok elite di parpol. Parahnya, pola ini cenderung diterima, kalau tak mau dibilang sejalan, dengan kultur masyarakat Jateng yang paternalistis dan cenderung ikut kemauan pemimpin.

Kemenangan kader PDI-P dalam Pilkada Kendal 2010 menjadi contoh perekrutan calon pejabat daerah yang oligarkis, terpusat di tangan orang-orang dalam partai. Padahal, publik tahu bahwa sang kandidat adalah istri mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro yang terlibat kasus korupsi.

Perbedaan kepentingan antara calon yang diinginkan di dalam kepengurusan lokal dengan restu dari pusat juga menjadi kendala bagi konsolidasi parpol. Kekalahan pasangan Rustriyanto-Rini Kristiani adalah contoh perbedaan aspirasi tentang calon kepala daerah yang harus diusung PDI-P pada Pilkada Kebumen. Bagi sebagian pengurus, Rustriyanto tetap maju sebagai wakil bupati berpasangan dengan Bupati incumbent Nashiruddin Al Mansyur. Sementara pengurus PDI-P lainnya menginginkan Rustriyanto maju sebagai bupati. Perbedaan ini memunculkan friksi di tubuh partai yang berakibat pecah kongsi dengan Nashiruddin.

Pola perekrutan dan perbedaan aspirasi ini melahirkan ”anomali” politik yang cukup besar dalam pilkada di Jateng. Salah satu indikasinya adalah inkonsistensi parpol pemenang kepala daerah dengan parpol yang menjadi pemenang pemilu. Sebut saja Kabupaten Semarang. Pemilu 2009 berhasil dimenangi Partai Demokrat. Pada Pilkada 2010, calon dari Partai Demokrat justru kalah oleh calon dari koalisi PDI-P. Kasus serupa terjadi dalam Pilkada Kendal yang dimenangi pasangan yang diusung PDI-P. Padahal, Kendal pada Pemilu 2004 menjadi basis Partai Golkar.

Dalam Pilkada Blora (2010), calon PDI-P justru kalah di kandang sendiri. Blora yang dikenal sebagai basis PDI-P sejak lama, calon PDI-P justru kalah dari calon Demokrat yang terbilang sebagai pendatang baru. Kekalahan PDI-P juga terjadi pada Pilkada Wonogiri. Di daerah yang sudah kental dengan nuansa PDI-P ini, pilkada justru dimenangi oleh calon muka baru yang diajukan oleh PAN dan beberapa partai kecil lainnya. Di tubuh partai lain, dalam Pilwalkot Semarang, pasangan Mahfudz Ali dan Anis (Manis) yang dicalonkan oleh Demokrat justru kalah oleh Soemarmo-Hendi yang diusung PDI-P. Padahal, Kota Semarang merupakan basis massa terbesar Demokrat di Jateng.

Konstelasi politik lokal

Secara historis, wilayah Jateng merupakan arena pertarungan partai nasionalis, komunis, dan Islam. Konstelasi tersebut tergambar jelas pada Pemilu 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI) menang dengan perolehan suara 33,5 persen, disusul Partai Komunis Indonesia (PKI) sebesar 25,8 persen, NU (19,7 persen), dan Masjumi (10,0 persen). PNI menguasai wilayah eks Karesidenan Tegal, sebagian besar Banyumas, dan Kedu sebagai basis massa. PKI menguasai wilayah eks Karesidenan Surakarta dan sebagian wilayah eks Karesidenan Pati. NU tersebar di Demak, Kudus, Jepara, dan Kabupaten Magelang.

Konstelasi politik seperti ini berubah drastis saat Pemilu 1971. Di bawah rekayasa rezim Orde Baru, kekuatan PNI dipangkas habis sehingga hanya meninggalkan sisa-sisa pendukung tradisionalnya seperti di Purbalingga, Banjarnegara, Sragen, dan Karanganyar. PKI yang sudah dibubarkan pada 1966 massanya banyak yang berpindah ke Golkar. Alhasil, Golkar mampu menguasai sebagian besar wilayah yang telah menjadi basis PNI dan PKI pada Pemilu 1955.

Pada Pemilu 1999, PDI-P berhasil membalikkan kekuatan Golkar yang dua tahun sebelumnya menguningkan Jateng. Dari 35 kabupaten/kota, PDI-P menguasai 33 daerah, kecuali Jepara (PPP) dan Kabupaten Magelang (PKB). Meski pada Pemilu 2009 PDI-P tetap dominan, secara umum konstelasi politik Jateng berubah cukup drastis dibanding dua pemilu sebelumnya yang ditandai munculnya Partai Demokrat sebagai kekuatan baru.

Di sisi lain, kader PDI-P melihat fenomena penurunan suara bukan sebagai pengurangan dukungan, tetapi sekadar ”kristalisasi”. Betapapun, konstelasi politik yang selalu berubah-ubah selama 10 tahun ini mencerminkan tingkat pertarungan yang tinggi di antara partai-partai nasionalis, terutama PDI-P, Golkar, dan kini Demokrat. Itu terjadi di tengah masih mandeknya kemampuan reorientasi dan rekrutmen parpol di mata publik. (Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com