Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Pancasila Begitu Penting?

Kompas.com - 13/05/2011, 04:13 WIB

Karakter keindonesiaan juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur, terutama akibat debu muntahan deretan pegunungan vulkanik. Tanah yang subur memudahkan segala yang ditanam, sejauh sesuai sifat tanahnya, untuk tumbuh. Seturut dengan itu, karakter keindonesiaan adalah kesanggupannya menerima dan menumbuhkan. Di sini, apa pun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat berkembang.

Etos pertanian masyarakat Nusantara bersifat religius dan gotong royong, dalam rangka penggarapan lahan bersama. Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dari kawasan Asia mana pun (Oppenheimer, 2010).

Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius, toleran, dan kekeluargaan dari Tanah Air ini. Di sisi lain kolonialisme-kapitalisme juga mengandung kontradiksi internalnya yang membawa unsur-unsur emansipasi baru, seperti humanisme, peri kebangsaan, demokrasi, dan keadilan, yang dapat memperkuat karakter keindonesiaan. Persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa penduduk dan visi emansipasi baru itu diidealisasikan oleh para pendiri bangsa sebagai sumber jati diri, falsafah dasar, dan pandangan hidup bersama.

Oleh karena itu, kategorisasi yang bersifat saling mengucilkan antara ”golongan kebangsaan” dan ”golongan Islam”, dengan identifikasi turunannya bahwa yang satu disebut pro-Pancasila dan yang lain kontra-Pancasila, sesungguhnya suatu keserampangan. Kenyataannya, baik anggota golongan kebangsaan maupun golongan Islam tidaklah monolitik. Lebih dari itu, secara substantif, kedua golongan memiliki kesepahaman yang luas.

Apa yang mereka idealisasikan sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945 ke dalam lima sila, yang disebutnya sebagai dasar falsafah (philosofische grondslag) atau pandangan dunia (weltanschauung) negara/bangsa Indonesia.

Gotong royong

Selanjutnya, Bung Karno menyatakan, ”Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ’gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong.”

Dengan kata lain, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong royong. Maknanya adalah: prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip internasionalismenya harus berjiwa gotong royong (yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan), bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, ”Bhinneka Tunggal Ika”), bukan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan.

Prinsip demokrasi juga harus berjiwa gotong royong (mengembangkan musyawarah mufakat), bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elite penguasa-pemodal (minorokrasi). Prinsip kesejahteraannya pun harus berjiwa gotong royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan), bukan visi kesejahteraan berbasis individualisme-kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.

Dengan semangat dasar kelima sila tersebut, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan paham kenegaraan radikalisme sekularis dengan radikalisme keagamaan, paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, pemerintahan otokratik dengan demokrasi pasar-individualis, serta ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.

Bangsa-bangsa lain perlu puluhan tahun sejak Perang Dunia II untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya republik ini. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai, tetapi gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bang- sa-bangsa lain mulai menengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.

Yudi Latif Penulis Buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com