Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Harga Minyak

Kompas.com - 14/03/2011, 03:03 WIB

Dalam sepuluh tahun terakhir, fluktuasi naik turunnya harga minyak dunia adalah suatu fenomena yang lazim terjadi. Di samping karena masalah kebutuhan melampaui jumlah ketersediaan, faktor konflik Timur Tengah juga menjadi alasan hambatan pasokan atau menjadi sasaran spekulasi.

Namun, yang tak kalah pentingnya adalah terjadinya reorientasi para pelaku pasar modal yang mengalihkan investasi bursa keuangan ke bursa komoditas atau yang lazim disebut flight to commodity.

Situasi gejolak di pasar keuangan juga menjadi alasan yang kuat harga komoditas baik spot maupun future bergejolak dengan motivasi untuk mengambil keuntungan (profit taking) atau melindungi investor dari kerugian yang lebih besar di pasar keuangan. Maka, negara konsumen maupun penghasil sumber daya energi harus terus berputar otak dan menggunakan cara-cara untuk dapat melindungi gejolak perekonomiannya. Dan karena ada unsur ketidakpastian, bisa saja respons kebijakan yang dilakukan melenceng.

Akan tetapi, bagaimanapun, upaya harus tetap dilakukan karena jika tidak melakukan tindakan apa-apa, biaya ekonomi yang harus dibayar akan lebih mahal daripada melakukan sesuatu meskipun terdapat risiko kesalahan antisipasi.

Situasi perminyakan di Indonesia sudah terbalik dari sepuluh tahun yang lalu. Indonesia dikategorikan sebagai importir neto minyak sehingga yang menjadi risiko ekonomi dan fiskal adalah apabila harga minyak dunia naik akan merugikan perekonomian dan APBN. Sejak itu, setiap harga minyak naik selalu menjadi sandera bagi perekonomian Indonesia.

Berbagai upaya sudah dilakukan, seperti upaya peningkatan produksi minyak, konversi BBM dengan elpiji, penggunaan non-BBM sebagai bahan bakar pembangkit listrik, dan lain-lain. Namun, semua kebijakan tersebut belum cukup untuk menghindarkan Indonesia dari status importir neto minyak.

Strategi lindung nilai juga sempat mencuat beberapa tahun yang lalu, tetapi sistem penganggaran belum memungkinkan kita mengakomodasikan transaksi yang mengandung risiko kerugian tersebut dilakukan.

APBN kita saat ini masih rentan terhadap volatilitas harga komoditas, khususnya minyak. Indonesia melakukan impor minyak dalam jumlah yang signifikan untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri dan harga minyak tersebut disubsidi.

Pada batas tertentu, volatilitas harga minyak tersebut masih bisa ditanggung oleh APBN. Namun, ada keterbatasan kemampuan APBN untuk menanggung kenaikan harga minyak tersebut. Sementara, terdapat keterbatasan untuk dilakukan pass through selisih harga minyak kepada konsumen. Hal ini berisiko mengganggu kondisi APBN.

Dengan harga di atas 110 dollar AS per barrel akhir-akhir ini, hal itu tentu sudah mengganggu APBN. Meski pendapatan negara dari pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) atas migas bertambah, tetapi subsidi energi, bagi hasil minyak, dan konsekuensinya pada anggaran pendidikan bertambah lebih banyak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com