YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Persoalan kemiskinan, keadilan, dan kesenjangan sosial menjadi akar terjadinya aksi kekerasan berdalih agama. Sementara, agama sama sekali tak pernah membenarkan aksi kekerasan dalam bentuk apa pun.
Demikian diungkapkan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Prof. Dr. Musa Asyarie, Rabu (9/2/2011) di Yogyakarta. "Kekerasan pastilah bukan bersumber dari ajaran agama. Tindakan ini justru berasal dari faktor lain, entah itu ekonomi maupun politik yang kemudian dimanipulasi menjadi (seolah-olah) kepentingan agama," ucapnya.
Menurut Musa, persoalan kerukunan hidup beragama di Indonesia, khususnya pada tataran elite tak ada masalah. Namun, di tataran akar rumput persoalan ini memanas. "Di tataran elite, mereka, para tokoh-tokoh lintas agama rukun-rukun saja. Tapi, di masyarakat bawah banyak persoalan yang mudah memicu terjadinya perselisihan," kata Musa.
Masalahnya bukan pada perbedaan agama atau keyakinan, tapi justru pada masalah ekonomi dan politik, seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Selama persoalan ini masih ada, maka aksi kekerasan masih akan berpotensi terjadi di Indonesia.
Pemimpin tidak tegas
Menanggapi kasus kekerasan berbau agama yang terjadi di Indonesia, Musa menilai pemerintah tak memiliki ketegasan. Bahkan, perintah pimpinan negara seolah-olah tak dipatuhi oleh para bawahannya. Hal ini terlihat dari lambannya sikap kepolisian dalam mengamankan aksi amuk massa terhadap penganut Ahmadiyah dan perusakan sejumlah gereja di Temanggung.
"Pemerintah harus kuat dalam menjalankan hukum, jangan setengah-setengah. Saat ini, realitas menunjukkan bahwa negara kalah dengan kekuatan kapital," ujarnya.
Pascaterjadinya aksi kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Pandeglang dan pembakaran sejumlah gereja di Temanggung, Jateng, berbagai pemuka agama, tokoh masyarakat Yogyakarta, dan Kepolisian Daerah Yogyakarta menggelar rapat koordinasi di Markas Kepolisian Daerah Yogyakarta. Hal ini untuk mengantisipasi merembetnya kerusuhan serta provokasi oleh kelompok tertentu, seperti yang terjadi di Pandeglang dan Temanggung.
Sebelumnya, berbagai elemen masyarakat Yogyakarta mengutuk pembantaian yang dilakukan sejumlah oknum terhadap para penganut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Mereka menilai pemerintah tidak tegas dan cenderung membiarkan tragedi ini terjadi.
Koordinator Aksi Pendro Indarto mengatakan, aksi kekerasan terhadap umat beragama tertentu menunjukkan bahwa negara tak lagi bisa melindungi warganya. Padahal, Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan beragama.
"Pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap segala aksi kekerasan berdalih agama. Pemerintah harus tegas mengusut aksi ini hingga tuntas. Jika tidak, maka kerukunan hidup beragama di negeri ini akan terancam," paparnya.
Keprihatinan juga diungkapkan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Ketua PBHI Angger Jati Wijaya mengatakan, aksi kekerasan yang telah terjadi akibat kebijakan negara dan golongan tertentu yang bernuansa disintegratif serta pembiaran oleh aparat keamanan.
"Kami mengutuk keras aksi itu. Kekerasan massa ini harus diusut tunas dan surat keputusan bersama tiga menteri harus ditinjau ulang. Tragedi ini harus dijadikan jalan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan realitas keberagaman keyakinan dan agama di Indonesia," kata Angger.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.