Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandawa, Dadu, dan Harga Diri

Kompas.com - 07/02/2011, 09:36 WIB

KOMPAS.com - Negara dipertaruhkan dalam perjudian. Itulah lakon wayang Pendawa Dadu. Pandawa, pemilik Kerajaan Amarta, harus kehilangan seluruh harta. Bukan hanya itu, Kerajaan Amarta dan seluruh isinya juga harus diserahkan kepada Kurawa sebagai pemenang perjudian dadu lewat kelicikan Patih Sengkuni. Bahkan pandawa yang terdiri atas lima bersaudara (Yudistira, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa) diusir dari kerajaan dan hidup berkelana di hutan.

Itu memang hanya kisah dalam dunia budaya wayang. Dalam bentuk lain, penyerahan kekuasaan dan kedaulatan negara Keraton Ngayogyakarta -yang kini bernama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta- juga bercitra tragis, setidaknya bagi warga Yogyakarta yang mempunyai pandangan lain dengan pemerintah menyangkut keistimewaan provinsi tersebut.

Meski kisah penyerahan kedaulatan itu lain, sebagian besar warga Yogyakarta merasa nasibnya seperti pandawa, merasa terabaikan dan kehilangan harga diri. Persoalannya adalah tarik-menarik antara pemerintah yang menghendaki pemilihan dan rakyat yang menghendaki penetapan dalam proses pemilihan gubernur.

Penyerahan kedaulatan oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) IX kepada pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam logika kekuasaan, memang merupakan peristiwa titik balik dari kebesaran sejarah Kerajaan Mataram.

Sultan Agung Hanyakrokusumo (1613-1693) membangun negara Mataram sehingga disebut sebagai kerajaan gung binatara, penuh heroisme dan bersimbah darah. Untuk menyelamatkan kekuasaannya di Jawa, Sultan Agung harus bertempur habis-habisan melawan VOC sebanyak tiga periode serangan.

Keturunan Sultan Agung, Sultan HB IX, menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada Pemerintah RI. Sedumuk batuk senyari bumi merupakan falsafah Jawa yang mengisyaratkan sikap luhur bahwa mempertahankan tanah leluhur adalah sebuah kehormatan.

Namun, pada titik ini justru tergambar betapa besar jiwa Sultan HB IX. Menghormati tanah leluhur bukan berarti memiliki untuk diri sendiri. Ketika milik leluhur itu berguna untuk rakyat, di situ sesungguhnya letak penghormatan kepada leluhur.

Dalam buku "Tahta untuk Rakyat" tergambar sekali jiwa itu. Belanda pernah meminta agar Sultan HB IX tidak ikut campur dalam masalah Republik Indonesia. Sebagai imbalannya, Sultan HB IX diberi tambahan wilayah kekuasaan meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. Sultan menolak, Belanda marah dan mengepung Keraton. Di bawah panglima Belanda, Jenderal Spoor, tiga panser ditempatkan di depan gerbang keraton.

Upaya Belanda masuk keraton dihadang langsung oleh Sultan Hamengku Buwono IX di gerbang alun-alun Keraton Yogyakarta. ”Anda bisa memasuki Keraton, tapi langkahi dulu mayat saya,” begitu kata Sultan HB IX dalam peristiwa seputar tahun 1949 itu. Peristiwa ini yang kemudian melahirkan Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Kisah ini menunjukkan betapa konkretnya ketulusan Sultan Hamengku Buwono IX dalam membela RI.

Pergunjingan Kini wilayah Provinsi DI Yogyakarta yang merupakan bekas bagian dari Kerajaan Ngayogyakartahadiningrat ibarat tinggal sakmegaring payung. Wilayah yang sangat kecil dibandingkan dengan wilayah Mataram masa silam. Wilayah kecil, tetapi punya andil dalam sejarah pembentukan negara Republik Indonesia itu, kini harus menghadapi persoalan sikrit (masalah sakral yang tidak perlu dikutik-kutik lagi) bagi kelestarian sejarah Yogyakarta yang memang berangkat dari negara kerajaan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com