Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Fun Art" Bukan "Fine Art"

Kompas.com - 23/01/2011, 04:42 WIB

Kenapa disebut mengusung modus baru? Karena mereka tumbuh di habitat kota, menggalang diri dalam komunitas, menggarap karya berbasis urban, dan menyajikannya di ruang publik kota. Cara seperti ini tak dilakukan para seniman zaman dulu yang cenderung berkarya secara individual dan berjarak dari masyarakat.

Komunitas dengan spirit serupa tumbuh di beberapa kota di Indonesia. Sebut saja, antara lain, Serrum, Atap Alis, Kampung Segart, Akademi Samali, Forum Lenteng, dan Tembok Bomber di Jakarta. Di Bandung, ada Common Room dan Asbestos Art Space. Juga Ruang Mess 56 atau House of Natural Fiber (HONF) di Yogyakarta.

Karya mereka tergolong street art lantaran memanfaatkan ruang jalanan, seperti lukisan dinding (mural), corat-coret (grafiti), stensil, striker, poster, komik, bahkan membuat karya seni pada website di internet. Bisa dibilang, mereka mempraktikkan seni sebagai aktivisme sosial karena karya seni tak lagi digumuli sebagai perkara artistik, tetapi menjadi media untuk mendorong perubahan.

Di tangan mereka, seni menjadi media yang luwes untuk memperjuangkan terwujudnya kehidupan kota yang lebih baik. ”Karena kami tinggal di kota, kami ikut berusaha menjadikan kota lebih manusiawi dan demokratis, dengan publik lebih kritis,” kata Ade Darmawan, salah satu pendiri Ruangrupa.

Gustaff H Iskandar, salah satu pendiri dan Direktur Common Room, menyebut generasinya sebagai seniman organik. ”Karena kami hidup di tengah kehidupan kota, menyerap kegelisahan warga, lalu menyajikannya sebagai karya di ruang publik,” katanya.

Pergeseran

Karakteristik generasi baru ini memang berbeda dari apa yang dijalankan para seniman dekade-dekade sebelumnya. Tahun 1930-an hingga 1960-an, misalnya, seni rupa Indonesia banyak didorong sanggar-sanggar, seperti Persagi (Persatuan Ahli Gambar) atau SIM (Seniman Indonesia Muda), atau Sanggar Bambu. Meski berkelompok, para seniman tetap bekerja dengan orientasi memperkuat dirinya sebagai seniman dan karyanya secara individual, seperti pelukis Affandi atau S Sudjojono.

Tahun 1980-an, cara berkesenian bergeser. Lewat perupa asal Tulungagung, Moelyono, kita mengenal apa yang disebut ”seni rupa penyadaran”. Dia bergerilya menggalang aktivitas seni rakyat di desa. Tahun 1990-an, sejumlah seniman berkelompok untuk membumikan seni di tengah publik. Semangat ini antara lain diwakili Apotik Komik dan Taring Padi di Yogyakarta, yang aktif membuat mural, poster, atau grafiti.

Reformasi 1998 mengubah banyak hal. Seiring runtuhnya rezim Orde Baru dan kian terbukanya pintu demokrasi serta didukung teknologi informasi canggih, bermunculan komunitas seni baru yang disebut tadi. Mereka berkesenian secara lebih santai dan terbuka.

Pengamat seni rupa, Hendro Wiyanto, menilai, generasi baru seni rupa itu memang lahir dan tumbuh besar di kehidupan urban. Mereka berinteraksi dengan teman-temannya dan kemudian menemukan keajaiban dan masalah di lingkup urban. Spirit itu pula yang diangkat dan memengaruhi cara kerja keseniannya.

”Mereka adalah produk dari demokratisasi dan ikut menciptakan demokratisasi seni. Dengan metode partisipatif, mereka masuk dalam denyut nadi masyarakat dan mendorong semua orang untuk mengalami seni secara bersama, tanpa hierarki atas-bawah. Yang dipentingkan adalah proses dan pengalaman bersama,” katanya.

Setidaknya generasi baru ini memang berkesenian secara fun alias menyenangkan. Bukan kesenian yang dipandang sebagai ritual yang sakral.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com