Berbasis Risiko
Perencanaan yang komprehensif terdiri dari perencanaan bersifat regional dan detail. Perencanaan regional mencakup pemetaan potensi bencana di wilayah masing-masing. Pemahaman atas potensi ancaman menjadi strategi mitigasi. Dalam perencanaan strategi mitigasi ini, pendekatan ilmiah bisa bertemu dengan usulan dari masyarakat.
Perencanaan regional dirinci lagi dalam perencanaan detail. Sebagai contoh, mitigasi daerah rawan gempa membutuhkan perencanaan detail terkait standar desain bangunan.
Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan bervariasinya potensi rawan bencana masing-masing, penanganan bencana tidak bisa bergantung pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Direktur Kesiapsiagaan Bencana BNPB Wisnu Wijaya sepakat bahwa penanggulangan bencana harus berbasis pada risiko. Untuk daerah yang potensi rawan bencananya tinggi, penjabaran mitigasi risiko ke dalam bentuk perencanaan bahkan harus sangat detail. Jika perlu, sampai ke skenario terburuk yang bisa terjadi. Dari skenario itu bisa dikembangkan identifikasi sumber daya yang tersedia. Sumber daya menyangkut orang, biaya, dan peralatan. "Dari pemetaan bisa terlihat kekurangan atau kelemahan yang perlu ditutup, diambil dari mana," ujar Wisnu.
Perencanaan regional dan detail itu kemudian diintegrasikan ke rencana pembangunan jangka menengah maupun rencana jangka panjang. "Perencanaan regional penting dimasukkan ke dalam rencana pembangunan supaya ada anggarannya. Kalau tidak diintegrasikan, akan percuma, hanya di awang-awang dan tidak jadi prioritas pembangunan nasional," kata Wisnu.
Soal pendanaan pun menjadi kendala. BNPB memperkirakan, dibutuhkan anggaran Rp 64,475 triliun untuk program penanggulangan bencana nasional selama lima tahun. Anggaran itu dibutuhkan untuk penguatan peraturan dan perundangan dan kapasitas kelembagaan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Apabila melihat besaran anggaran indikatif dalam rencana nasional, porsi terbesar ada pada penguatan kapasitas kelembagaan, mitigasi, dan kesiapsiagaan.
Mengatasi Kelemahan
Menurut Wisnu, secara sporadis, sejumlah undang-undang sudah saling mendukung diterapkannya pembangunan yang berbasis mitigasi risiko. Sebagai contoh, Undang-Undang Tata Ruang yang mengharuskan ada peta rawan bencana untuk analisis risiko. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah mengharuskan semua daerah membentuk Badan Penanganan Bencana Daerah (BPBD).
Ia mengeluhkan, sering kali BPBD kurang berdaya karena lemah dari sisi jumlah personel maupun kualitas sumber daya manusia. "Pemerintah daerah sering kali hanya asal menempatkan orang, padahal seharusnya yang ahli dan profesional," kata Wisnu.