”Warga di sini tidak butuh terminal luas. Mereka butuh kail dan perahu untuk menyambung hidup,” katanya.
Sesungguhnya masyarakat Marore dan wilayah perbatasan lainnya di Kabupaten Sangihe sangat membutuhkan proyek berkaitan dengan kehidupan mereka yang umumnya sebagai nelayan. Proyek itu, antara lain, adalah pabrik es yang digunakan untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan nelayan. Namun, pabrik es tak kunjung ada karena listrik yang tersedia tidak mencukupi.
Sementara itu daya listrik di sejumlah kawasan perbatasan hanya mampu menyala untuk 12 jam mulai dari pukul 18.00 hingga pukul 06.00. Itu pun dengan kapasitas terbatas, hanya 80 kilowatt. ”Kalau listrik memadai, pabrik es dapat dibangun. Nelayan pun dapat hidup lebih,” katanya.
Sudah saatnya semua pemangku kepentingan memikirkan problem perbatasan secara kultural. Sepanjang berupa lautan, perbatasan negara adalah kawasan dengan penduduk beragam yang telah lama hidup sebagai masyarakat, bahkan jauh sebelum negara ini terbentuk. Berhentilah membangun beranda Nusantara dengan memakai ”kacamata” Jakarta.