Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tumpang Tindih di Beranda Nusantara

Kompas.com - 16/12/2010, 03:34 WIB

Oleh Jean Rizal Layuck

Gairah pemerintah membangun pulau-pulau terluar patut diapresiasi di tengah rawannya pencaplokan wilayah NKRI oleh negara tetangga. Sayangnya, sejumlah hasil pembangunan di beranda Nusantara belakangan ini nyaris tak bermakna. 

Sejumlah proyek hampir tak menyentuh kehidupan masyarakat perbatasan. Pembangunan properti di beberapa wilayah pinggiran di Marore dan Miangas, misalnya, bagaikan meletakkan aksesori dalam lemari hias.

Contoh lain, patung pahlawan nasional Santiago yang berdiri kokoh di Pantai Miangas, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, area tapal batas RI-Filipina. Patung setinggi 14 meter berbiaya Rp 1,2 miliar itu menjadi simbol kedaulatan wilayah RI. Keseluruhan patung itu terbuat dari bahan perunggu yang diangkut dari tanah Jawa dengan kapal perang.

Ide membuat patung dengan harga Rp 1,2 miliar datang dari Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso yang kemudian diresmikan Panglima Komando Daerah Militer VII/Wirabuana Mayor Jenderal Djoko Susilo Utomo tahun 2009.

Pemilihan tokoh Santiago terinspirasi dari kisah perjuangan Raja Manganitu, Kabupaten Sangir, Sulawesi Utara, periode 1670-1675. Kala itu, Santiago adalah raja yang terkenal gigih menentang Belanda hingga dihukum mati.

Di balik kisah heroik yang ditampilkan pada relief-relief tugu, Hibor Banerah (37), warga Miangas, mengaku bangga sekaligus prihatin. Pasalnya, kala petang, areal di sekitar patung menjadi tempat masyarakat duduk santai. Patung juga menjadi rebutan orang luar yang datang ke Miangas untuk berfoto ria.

”Patung itu sangat monumental, tetapi sesungguhnya masyarakat lebih butuh bensin dan minyak tanah,” kata Hibor.

Bensin, minyak tanah, atau solar menjadi kebutuhan pokok masyarakat perbatasan Miangas dan Marore. Bahan bakar minyak (BBM) itu sangat dibutuhkan masyarakat untuk bepergian ataupun mencari ikan di laut dengan menggunakan perahu motor.

Di pulau-pulau terluar itu, BBM selaku komoditas penyambung urat nadi perekonomian masyarakat selalu saja susah diperoleh. Suplai BBM ke perbatasan wilayah RI-Filipina itu sangat terbatas. Belakangan ini masyarakat lebih sengsara setelah pemerintah melarang warga membawa BBM di atas kapal perintis meski hanya satu jeriken.

Untunglah beras untuk kebutuhan masyarakat relatif tercukupi karena Pemerintah Provinsi Sulut telah membangun gudang beras dan menyuplai setiap tiga bulan.

”Tanpa BBM, hidup kami jadi terasing dari peradaban. Kami tak dapat ke mana-mana,” kata Nelson Makaluas (52), warga Miangas.

Situasi yang sedikit berbeda dirasakan masyarakat Marore, wilayah perbatasan RI-Filipina di Kabupaten Sangihe. Sejumlah proyek yang dibangun di Marore seperti berlebihan. ”Perhatian ke Marore seperti orang yang sudah kenyang, tetapi tetap diberi makan,” kata Bupati Sangihe Winsulangi Salindeho.

Ia menyebut hampir seluruh proyek perbatasan di Kabupaten Sangihe seluruhnya ditujukan ke Marore. Padahal, di Kabupaten Sangihe terdapat 15 area perbatasan negara RI-Filipina. ”Kami mau protes, tetapi proyeknya sudah telanjur jalan,” katanya.

Salindeho menyesalkan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten dalam membangun kawasan perbatasan di kabupatennya.

Duplikasi proyek

Hal itu memberi dampak terjadinya duplikasi proyek yang pembangunan fisik melulu berlokasi pada titik tertentu. Salindeho menilai gairah pemerintah pusat membangun wilayah perbatasan cukup tinggi melalui berbagai kementerian.

Ia menyebutkan beberapa proyek perbatasan yang mubazir karena dibangun dua kali. Misalnya, pembangunan Kantor Kecamatan Marore, wilayah paling utara Indonesia di Kabupaten Sangihe oleh Kementerian Dalam Negeri.

”Di sana sudah ada kantor kecamatan yang masih layak pakai, tetapi Kementerian Dalam Negeri masih membangun kantor yang sama dengan nilai mencapai Rp 1 miliar. Karena proyek itu sudah berjalan, kami tentu tak dapat menolak,” katanya.

Salindeho sempat kecewa ketika Departemen Perhubungan tahun 2006 membangun terminal penumpang di Dermaga Kawaluso bernilai miliaran rupiah. Terminal cukup luas itu cukup representatif, tetapi tidak untuk ukuran Kecamatan Kawaluso yang hanya berpenghuni 1.500 jiwa.

”Warga di sini tidak butuh terminal luas. Mereka butuh kail dan perahu untuk menyambung hidup,” katanya.

Sesungguhnya masyarakat Marore dan wilayah perbatasan lainnya di Kabupaten Sangihe sangat membutuhkan proyek berkaitan dengan kehidupan mereka yang umumnya sebagai nelayan. Proyek itu, antara lain, adalah pabrik es yang digunakan untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan nelayan. Namun, pabrik es tak kunjung ada karena listrik yang tersedia tidak mencukupi.

Sementara itu daya listrik di sejumlah kawasan perbatasan hanya mampu menyala untuk 12 jam mulai dari pukul 18.00 hingga pukul 06.00. Itu pun dengan kapasitas terbatas, hanya 80 kilowatt. ”Kalau listrik memadai, pabrik es dapat dibangun. Nelayan pun dapat hidup lebih,” katanya.

Sudah saatnya semua pemangku kepentingan memikirkan problem perbatasan secara kultural. Sepanjang berupa lautan, perbatasan negara adalah kawasan dengan penduduk beragam yang telah lama hidup sebagai masyarakat, bahkan jauh sebelum negara ini terbentuk. Berhentilah membangun beranda Nusantara dengan memakai ”kacamata” Jakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com