JAKARTA, KOMPAS.com — Gagasan pemerintah untuk mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD terus dikritik. Pekan lalu, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Joehermansyah mengatakan, gagasan itu masuk dalam RUU Pilkada yang akan segera diserahkan ke DPR.
"Itu gagasan yang keliru karena kita kembali ke cara lama yang punya banyak masalah. Seharusnya yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki permasalahan yang sesungguhnya ada. Bukan menganggap penyelesaiannya dengan (pemilihan) langsung atau tidak langsung," kata Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Nafis Gumay, Senin (13/12/2010), kepada Kompas.com.
Setidaknya ada sejumlah permasalahan yang, menurut Hadar, akan muncul dari gagasan tersebut. Pertama, aspirasi DPRD dalam memilih gubernur sangat berpotensi tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
"Ada gap antara aspirasi wakil rakyat dengan apa yang berkembang di masyarakat. Kalau itu yang terjadi, pimpinan yang terpilih bisa mendapatkan penolakan. Penolakan yang besar akan menyulitkan dalam memerintah," ujarnya.
Kedua, sistem pemilihan melalui DPRD dinilai tidak sesuai dengan desentralisasi dan otonomi daerah yang bertujuan agar masing-masing daerah punya "warna" sendiri. Para anggota DPRD yang berasal dari sejumlah partai politik, menurut Hadar, akan sangat terkait dengan pengurus pusat partainya dalam menentukan sikap.
"Parpol kita masih sangat sentralistik sehingga dalam memilih dan mengidentifikasi calon sangat diwarnai oleh keinginan parpol di tingkat pusat," kata Hadar.
Masalah ketiga, kentalnya isu permainan uang. Politik uang, dalam kacamata Hadar, tidak hanya terjadi pada pemilihan langsung. Praktik itu dianggap juga akan terjadi ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD. "Justru menggunakan uang dalam proses pemilihan akan lebih mudah. Dulu, salah satu faktor kita meninggalkan cara itu (pemilihan oleh DPRD) karena ingin mengoreksi praktik politik uang itu," ujarnya.
Hadar melanjutkan, permasalahan keempat adalah persoalan akuntabilitas. Gubernur yang dipilih DPRD akan lebih merasa bertanggung jawab kepada pemilihnya. "Jadi konsennya ke DPRD, bukan orientasi ke rakyat. Akuntabilitas tidak lagi ke rakyat," kata dia.
Masalah berikutnya, tidak berjalannya check and balance terhadap pemimpin yang berkuasa. Hak memilih yang diberikan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin di dua jalur, eksekutif dan legislatif, dinilai memperkuat fungsi check and balance oleh publik.
"Kalau dipilih oleh DPRD, proses check and balance tidak akan berjalan karena ada kompromi di antara gubernur dan DPRD," ungkap Hadar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.