Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PNS Bukan Warga Kelas Satu

Kompas.com - 19/10/2010, 20:21 WIB

Kita sepakat, butuh birokrasi yang kredibel dan akuntabel berbasis moral. Namun, sepertinya tidak keliru juga jika diskusi ini berlanjut pada soal budaya kita yang disadari atau tidak menganggap PNS sebagai warga kelas satu dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain.

Suap Rp 40 juta-Rp 70 juta sebagaimana disampaikan Asep adalah indikasi bagaimana masyarakat kita begitu bergairah ingin menjadi warga kelas satu, apa pun caranya. Ini menyedihkan karena berarti tingkat kemandirian masyarakat kita untuk menggantungkan diri kepada Tuhan dan kemampuan yang dimiliki demikian rendah. Padahal, setelah menjadi PNS, banyak kasus yang mengindikasikan bahwa kinerja mereka tidak pernah optimal. Banyak yang menjadi PNS karena tergiur gaji tiap bulan. Seakan mereka beranggapan bahwa kebutuhan hidup sehari-hari sudah terjamin dengan gaji.

Karena motivasinya bukan untuk prestasi dan aktualisasi diri, untuk apa prestasi kerja. Toh tak berprestasi pun akan dapat gaji. Saya kira ini juga menyangkut persoalan moral sekaligus mentalitas manusia Indonesia pada umumnya.

Bahkan dalam banyak benak manusia Indonesia, konsep bekerja sering kali direduksi menjadi jelas gajinya, jelas seragamnya, jelas jam kerjanya, dan jelas alamat kantornya. Artinya, orang-orang mandiri yang bekerja, tetapi tidak berseragam, tidak tetap gajinya, dan tidak jelas kantornya dianggap tidak bekerja. Pandangan ini sungguh berbahaya di era modern di negara yang sudah lebih dari setengah abad merdeka. Mengapa hal ini terjadi?

Pertama, mentalitas kaum terjajah rupanya masih melekat. Apa pun dilakukan, termasuk kerja asal-asalan, yang penting dapat gaji. Kedua, secara perlahan tetapi pasti anggapan bahwa PNS adalah warga kelas satu akan melahirkan kecemburuan sosial, yang pada akhirnya akan melahirkan sinisme publik. Tidak tertutup kemungkinan satu saat nanti akan lahir sebuah gerakan anti terhadap warga kelas satu itu.

Ini sangat beralasan, terutama ketika gaji PNS semakin tinggi, tetapi tidak disertai kinerja yang berpengaruh terhadap membaiknya mesin birokrasi. Maka, satu saat nanti birokrasi dan PNS akan dianggap sebagai biang kerok lahirnya kesenjangan ekonomi dan kemiskinan. Ini merupakan problem besar yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Moral dan mental

Dalam hal ini Unpad yang dipercaya sebagai salah satu pihak yang menyeleksi CPNS tentu memiliki komitmen agar PNS yang dihasilkan benar-benar memiliki standar memadai, terutama standar moral dan mental. Ya, seperti sekarang inilah proses seleksi CPNS. Setelah menjadi PNS, tabiat warisan "priayiisme"-nya masih terlihat, merasa diri menjadi anak pemerintah yang diberi seragam dinas dan pola pikirnya seakan seragam.

Sudah lama seleksi CPNS hanya berdasarkan syarat administratif. Untuk masa mendatang, sebagai usulan, saya kira ada baiknya mereka yang mau menjadi PNS harus benar-benar terpilih berdasarkan rekam jejak kecakapan dan kompetensi serta memiliki integritas yang teruji pada bidang pekerjaan tertentu.

Memang dibutuhkan waktu dan kesungguhan untuk mengubah orientasi dedikasi dan loyalitas. Dedikasi dan loyalitas yang selama ini ada di dunia PNS adalah terhadap atasan dan lembaga di tempat yang bersangkutan bekerja. Seharusnya dedikasi dan loyalitas itu terhadap pekerjaan sehingga PNS merasa bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, bukan kepada atasan atau lembaga.

Usulan ini barangkali absurd, tetapi kalau mau membenahi birokrasi yang perilakunya sudah gila, harus menggunakan inovasi yang tidak lazim juga.

DEDE MARIANA Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com