Putu Fajar Arcana
Pada kesempatan pertama sebagai pemburu magang, April 2005 di Bengkulu, Ira—demikian ia disapa—telah menembak sembilan ekor babi hutan. Terdengar sadis dan berdarah-darah bukan? ”Anehnya, saya tidak merasakan apa-apa saat pelatuk ditarik dan seekor babi roboh dalam jarak 100-300 meter,” tutur Ira dingin.
Kami berdua sedang ”terperangkap” dalam keriuhan pesta makan malam. Setidaknya obrolan awal pekan lalu itu dua kali ”diinterupsi” oleh dua kelompok anak muda yang sedang memberi kejutan kepada sahabatnya yang sedang berulang tahun.
Ira mengaku tidak merasa deg-degan saat peluru melesat dan menembus jantung babi. Padahal, darah siap muncrat dan sepotong nyawa meregang. ”Babi yang kami buru, babi hama. Babi yang mengganggu tanaman petani karena jumlahnya sangat banyak. Kami tidak menghabisi, tetapi mengurangi jumlahnya. Dan, hanya babi...,” ujar putri mantan Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris ini berapi-api.
Terdengar seperti sebuah pembelaan memang. Tetapi, para pemburu punya kode etik yang keras: tidak boleh membunuh binatang yang dilindungi, pembunuhan hanya berarti pengurangan populasi dan bukan menghabisi.
”One shoot, one killed
Sejak tahun 2005 itu sampai kini, Ira setidaknya berburu dua kali dalam setahun. Ia siap hidup di hutan-hutan di kawasan Bengkulu, Jambi, Palembang, Lampung, dan Aceh selama berhari-hari. Asal tahu, perburuan hanya dilakukan pada malam hari dengan mencegat kawanan babi yang sedang turun gunung. Pernah dalam satu perburuan Ira bersama tim pemburunya menembak sampai 30 ekor babi hutan! Wow?
”Eh, tapi dagingnya kita serahkan kepada kebun binatang untuk makanan hewan,” kata Ira buru-buru. Ia memang amat khawatir dituduh sebagai pembunuh berdarah dingin. Tak canggung mencabut nyawa, tak ngeri melihat darah, tak jera menyaksikan hewan-hewan bergelimpangan. Kejam? Tunggu dulu....