Tentu bukan bermaksud menghapus citra kekerasan itu jika Ira mencintai mawar. ”Kalau aku lagi ruwet, aku selalu lihat mawar, seolah keruwetan pikiran itu larut dalam kepingan-kepingan mawar,” cerita Ira.
Ia selalu kagum kepada penemuan para ilmuwan bunga di Belanda. ”Mau mawar jenis apa saja bisa. Seolah jenis itu bisa dipesan…,” katanya.
Cuma, tambahnya, satu hal yang tak bisa disamai manusia atas kebesaran Tuhan, ”Mawar hasil teknologi itu tidak seharum mawar alam. Jadi, harum alami itu tidak bisa ditiru.”
Kecintaan Ira pada bunga sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelum ia memutuskan menjadi atlet menembak kategori berburu. Semua bermula dari kegemarannya merangkai parsel dan bunga. Bahkan, kegemaran itu berujung pada pembukaan usaha parsel bernama Belia Pratama awal tahun 1990-an bersama 11 teman kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sekitar tahun 1994 sebagian besar teman ”bisnisnya” mengundurkan diri karena berbagai alasan. Ira tak kunjung surut. Ia mengambil alih usaha parsel dengan nama Nabila, bahkan mengembangkannya dengan menambahkan usaha menjual bunga rangkai. Ira merasa perlu berguru kepada Jane Paker, seorang
Baik. Sampai di sini dua bagian cerita tentang senapan dan mawar itu seperti terpisah, bukan? Tibalah tahun 2004 ketika Komisi Pemberantasan Korupsi melarang pengiriman parsel kepada para pejabat. Ira bersama 3.000-an anggota Asosiasi Pengusaha Parcel Indonesia kelimpungan. ”Aku rugi ratusan juta,” kenang Ira. Dalam kegalauan itulah seorang temannya mengajak belajar menembak. ”Aku belajar
Nah, lengkap sudah. Ira yang berguru merangkai bunga di Inggris, lalu berguru menembak secara serius kepada beberapa orang guru. Hasilnya, dua keahlian yang tampak bertentangan itu mengalir dalam tubuhnya.
Penjelasannya begini, ”Menembak itu perlu seni konsentrasi dan mengalahkan diri sendiri. Bunga memberiku ketenangan itu....”
Awas, Ira memang kelihatan tenang bak setangkai mawar, tetapi setiap saat ia bisa meledak dan menembak! Takut?