JAKARTA, KOMPAS.com — Setara Institute menilai bahwa pemerintah pusat belum menganggap serius masalah tindak kekerasan dan diskriminasi yang dialami Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
"Pemerintah pusat menganggap isu ini masih ecek-ecek, lain dengan terorisme. Padahal kalau ini tidak ditangani, akan menjadi bom waktu," ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos seusai jumpa pers yang digelar di kantor Setara, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Senin (9/8/2010).
Ketidakseriusan Pemerintah, menurut Setara, tampak pada sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri mengenai peringatan dan perintah kepada Jamaah Ahmadiyah yang tidak sungguh-sungguh. "Celakanya, SKB ini ditafsirkan secara salah sehingga penindakan (kekerasan) terhadap Ahmadiyah dianggap sahih dan punya landasan hukum," katanya.
Untuk itulah Setara mendesak agar pemerintah segera mengganti SKB dengan undang-undang yang lebih legal dan tidak diskriminatif serta bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan. Pemerintah pun dituntut menciptakan dialog konstruktif menyelesaikan masalah Ahmadiyah. "Memang tidak akan ada persamaan teologis, tapi upaya supaya menjaga kerukunan itu penting," tambah Bonar.
Bonar juga menyesalkan sikap Menteri Agama Suryadharma Ali yang mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. "Padahal bukan kewenangan negara mengatakan suatu aliran sesat atau tidak," katanya.
Sikap Suryadharma Ali yang mengatakan Ahmadiyah sesat tersebut dinilai Bonar membawa kepentingan-kepentingan politik. "Suryadharma Ali kan dari PPP," tutur Bonar.
Jumpa pers Setara yang menghadirkan pengurus Jamaah Ahmadiyah merupakan tanggapan atas penyegelan masjid-masjid Ahmadiyah yang terakhir terjadi di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat (29/7/2010).
Hambatan terhadap kaum Ahmadiyah yang banyak terjadi di Jawa Barat tersebut dinilai Bonar bersinggungan dengan dinamika politik. "Hambatan dan gangguan yang dihadapi Ahmadiyah hanya terpusat di beberapa daerah terutama Jawa Barat. Ini jadi pertanyaan, kenapa hanya terjadi di sana?" imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.