Pada usianya yang mencapai 68 tahun, Pong berani dan mampu menaiki kubah ”Gedung Kura-kura” yang, kata Sudjiwo, mirip dengan, maaf, ”bokong perempuan”. Pong tentu bukan cari sensasi seperti yang dituduhkan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Metro TV, Jumat, 30 Juli. Risiko menaiki kubah ”Gedung Kura-kura” amat besar. Tak mungkin itu dilakukan orang tanpa nyali tinggi atau orang yang tak memiliki kekecewaan politik yang mendalam.
Satu hal yang menarik, Pong pada Pemilu Presiden 2004 adalah orang yang direkrut Sys NS sebagai motor penggerak fans club seniman ”Barisan Pendukung SBY”. Kalau dia kecewa, tentu bukan hanya kepada DPR, melainkan juga kepada penguasa negeri ini.
Yang dilakukan Pong Hardjatmo hanyalah kritik tajam kepada para elite politik di negeri ini. Ia bukan seorang pembangkang, melainkan hanya mutung belaka. Yang dilakukannya juga bukan tindakan menjatuhkan pemerintahan yang sah atau meminjam istilah yang populer pada masa Orde Baru: subversif!
Sebagai warga negara yang dulu mendukung SBY, Pong bukanlah pendukung mati sebuah rezim. Ia seorang yang demokratik. Seorang warga negara yang demokratik harus siap mendukung seorang pemimpin, tetapi pada saat bersamaan juga siap mengkritik para elite politik negeri ini, termasuk pemimpinnya, yang dinilainya kurang jujur, adil, dan tegas.
Situasi disfungsi
Mengapa pula Petisi 28 memberikan Penghargaan Mawar Merah atas keberanian tanpa pamrih Pong Hardjatmo? Mungkin karena tidak sedikit kalangan purnawirawan TNI yang sudah benar-benar kecewa pada situasi negeri ini.
Berbagai institusi yang terkait dengan penegakan hukum di negeri ini, seperti polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, telah menuju pada situasi disfungsi alias tidak berfungsi lagi.
Para anggota DPR juga sibuk bermain politik agar kasus Bank Century tidak berlanjut kembali. Belum lagi dari satu periode masa sidang ke periode berikutnya semakin meningkat jumlah anggota parlemen kita yang tidak menghadiri rapat- rapat di DPR.
Di kabinet pun sama saja. Jalannya pemerintahan begitu lamban bagaikan keong siput yang terseok-seok berjalan di pasir panas. Negeri ini ibarat negeri tanpa kepemimpinan. Tak heran jika semakin banyak orang mutung! Jika ini terus berlanjut, entah apa jadinya negeri yang kita cintai ini.
*Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.