Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal George Toisutta di Cilodong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin lalu, memang menyatakan, institusi dan prajurit TNI AD siap berdemokrasi. Bahkan, ia menambahkan, dalam setiap proses pengambilan keputusan, seorang komandan juga meminta masukan dan saran dari stafnya. Hal itu diterjemahkannya sebagai praktik berdemokrasi.
Menanggapi pernyataan itu, sejumlah kalangan menilai, KSAD terlalu berlebihan. Walaupun meminta masukan anak buah, keputusan tetap di tangan komandan dan perintah hanya dari atasan yang harus dijalankan anak buah.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, berpendapat, terang saja petinggi militer merespons positif pernyataan Presiden Yudhoyono di Istana Cipanas. Sebab, nama baik dan kemampuan petinggi militer memang dipertaruhkan, terutama soal berhasil atau tidaknya mereka menjalankan dan menyempurnakan amanat reformasi internal TNI. Reformasi internal yang seharusnya menjadikan TNI profesional dan mumpuni.
”Sekarang, dengan masih tingginya kecurigaan masyarakat sipil soal wacana pengembalian hak pilih prajurit TNI, itu menunjukkan kegagalan pimpinan militer mematangkan hak politik anggotanya sebagai warga negara,” ujar Andi.
Akibatnya, pengembalian hak memilih sekadar direaksi dengan penuh kecurigaan serta ketakutan oleh kalangan masyarakat sipil jika langkah semacam itu hanya akan memperunyam situasi.
Respons negatif juga diyakini Andi muncul lantaran dalam benak masyarakat masih terdapat trauma dan ketidakpercayaan TNI bisa netral dan tak punya kepentingan politik. Bahkan, bukan tidak mungkin malah memicu terbentuknya kembali faksi dalam tubuh institusi itu.
”Seharusnya jika mau membuat kebijakan seperti itu, pemerintah dan institusi TNI segera mempersiapkan prajuritnya sehingga mereka paham dan tahu bagaimana menggunakan hak politik layaknya warga negara lain. Sekarang akhirnya disadari, hak itu memang dicabut tanpa dilandasi alasan jelas mengapa dilakukan,” kata Andi.
Menurut Andi, jangan sampai Indonesia meniru langkah sejumlah negara di Afrika, semacam Angola, Chad, atau Zimbabwe. Hak pilih prajurit militer mereka dicabut karena ada ketidakpercayaan yang sangat besar terhadap militer terkait kemampuannya untuk bersikap netral.
”Jangan sampai kita turun level seperti negara itu. Bahkan, negara komunis, seperti China dan Vietnam, saja tentaranya dibolehkan memilih, kok. Begitu juga Irak yang baru lepas dari konflik. Kenapa di Indonesia justru jadi tidak normal?” ujar Andi.
Menarik juga untuk menyimak sejumlah pendapat yang dilontarkan beberapa prajurit TNI berpangkat bintara, perwira pertama, dan perwira menengah kepada Kompas, kemarin. Seperti masyarakat umum, mereka juga menanggapi beragam wacana pemberian hak pilih itu.