Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hak Pilih TNI

Kompas.com - 24/06/2010, 03:23 WIB

Oleh Jaleswari Pramodhawardani

Di luar dugaan banyak orang, ternyata keinginan Tentara Nasional Indonesia atau TNI untuk menggunakan haknya sebagai warga negara dalam pemilu dipercepat.

Setidaknya wacana yang beredar dua pekan ini menegaskan hal tersebut. TNI sedang mengkaji kemungkinan menggunakan hak pilih di Pemilu 2014. Kendati Panglima TNI mengisyaratkan semua ini tetap menunggu keputusan politik Presiden, kajian terhadap hak pilih ini menunjukkan keseriusan TNI dalam persoalan ini. Pro dan kontra pun bergulir. Para ketua parpol, DPR, Panglima TNI, hingga Presiden berpolemik tentang hal ini.

Ingatan kita kembali menjelang tahun 2004 saat para politisi sipil Senayan memanfaatkan keberadaan militer saat itu, dengan sengaja memperpanjang keberadaan mereka dalam wadah Fraksi ABRI/TNI hingga tahun 2009. Namun, TNI justru menarik dirinya lebih awal menjelang Pemilu 2004. Mereka memutuskan menunda menggunakan hak pilih tersebut, seperti tertuang dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 39, yaitu Prajurit dilarang terlibat dalam: kegiatan menjadi anggota parpol, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya.

Hak dasar TNI

Terlepas dari itu semua, pertanyaan mendasar yang kerap diajukan adalah: apakah TNI memiliki hak pilih seperti halnya warga negara lainnya? Apakah TNI diperbolehkan memilih? Mengapa kita cemas dengan hak pilih ini? Berbeda dengan hak untuk dipilih, hak memilih bagi anggota TNI adalah sebuah keniscayaan. Mengacu kaidah demokrasi universal, seseorang yang memiliki profesi tertentu tidak kehilangan hak-hak politiknya, khususnya hak memilih dalam pemilu. Semua warga negara pada prinsipnya mempunyai hak dan kewajiban sama. Demikian pula bagi anggota TNI, status kewarganegaraannya sama dengan WNI lain.

Dengan demikian, hak politik WNI yang kebetulan jadi anggota TNI dan Polri tidak dapat dihapuskan oleh siapa saja, kecuali jika mereka tak bersedia menggunakannya. Mereka hanya dapat dilarang bila melanggar ketentuan perundangan yang secara sengaja diatur untuk itu. Kebetulan aturan dan kebijakan yang mengaturnya belum diubah, seperti UU TNI dan UU Pemilu yang tak memberikan hak pilih kepada TNI. Hak politik semacam itu memang dimiliki anggota militer di negara-negara demokratis di seluruh dunia. Apalagi dalam sejarah Indonesia kita pernah mencatat, hak pilih anggota TNI dan Polri pernah dilaksanakan pada Pemilu 1955 tanpa menimbulkan polarisasi atau gangguan keamanan sebagaimana dikhawatirkan sementara kalangan dewasa ini.

Jika faktanya demikian, lantas, mengapa polemik hak pilih TNI begitu mengemuka? Membicarakan hak pilih TNI memang tidak mudah. Pengalaman masa lalu TNI dalam kancah politik sering dijadikan rujukan kekhawatiran banyak pihak bahwa TNI akan memanfaatkan dan dimanfaatkan kembali oleh penguasa. Apalagi dalam sejarah 32 tahun Orde Baru berkuasa kekhawatiran itu menjelma dalam bentuknya yang kasatmata. Penguasa saat itu memanfaatkan ABRI sebagai instrumen kekuasaan belaka. Kedekatan dengan kekuasaan inilah yang menjadikan ABRI saat itu dihujat kiri kanan.

Problematika dalam meletakkan supremasi hukum sebagai landasan utama berdemokrasi dan upaya penegakan keadilan tidak semata-mata terletak pada halangan struktural atas lemahnya political will penegak hukum dalam penegakan prinsip justice for all, tetapi juga pada sangat mudahnya norma hukum tidak saja belum terisi oleh nilai-nilai keadilan, tetapi hukum juga sering kali mengabdikan diri sebagai instrumen kekuasaan. Dengan demikian, pengertian supremasi hukum menjadi tidak dengan sendirinya berarti menegakkan keadilan. Lembaga pemilu yang kita miliki selama ini belum menunjukkan kemampuan, ketidakberpihakkan, dan keterpercayaannya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Pengalaman pilpres dan beberapa pilkada menunjukkan adanya banyak kasus pelanggaran serius. Belum lagi mulai bergesernya peran dan kedudukan antarlembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif yang saling tergantung satu dengan lain dalam barter-barter politik yang saling menguatkan kekuasaan. Politik yang kita miliki hari ini hanya berhenti pada tataran ”strategi kelangsungan hidup” bagi para politisi dan penguasa. Politik uang dan kekuasaan jadi panglima. Masih jauh dari nilai-nilai dan tindakan etis di dalamnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com