Dalam suasana kebatinan semacam inilah kehadiran wacana hak pilih TNI kemudian menjadi kontra produktif dan menuai hujan kritik. Sebagian besar kalangan khawatir di satu sisi supremasi hukum masih tersendat-sendat dalam upaya penegakannya, di sisi lain aturan serta kebijakan lain yang berkaitan dengan pengaturan hak pilih TNI belum tersedia.
Sebagian besar pihak memang akhirnya menyarankan sebaiknya hak pilih TNI ditunda hingga tahun 2019. Bagi saya waktu tidak terlalu penting karena esensinya justru bukan di sana. Esensi
Kedua, salah satu kendala yang cukup signifikan atas tegaknya supremasi hukum dalam arti sebenarnya, antara lain masih menguatnya berbagai yurisdiksi mahkamah militer yang cenderung mengabaikan akuntabilitas publik dalam proses peradilan serta tidak adanya pemilahan yang jelas terhadap berbagai pelanggaran yang sifatnya internal dalam tubuh militer sendiri; seperti desersi dengan pelanggaran HAM atau berbagai jenis pelanggaran pidana biasa seperti korupsi. Penyelesaian ini penting karena, jika hak pilih TNI kelak diberlakukan, publik akan tahu ke mana membawa sengketa yang terjadi antara masyarakat sipil dan anggota TNI.
Ketiga, di luar pentingnya keterampilan dan kemampuan TNI dalam kemiliteran dan kesejahteraan prajurit, pendidikan dan pembangunan prinsip-prinsip keadaban demokratik penting disosialisasikan. Intinya, bagaimana ketegangan ”efisiensi militer” dan keadaban demokrasi harus dikawinkan. Hal ini mungkin terlihat masih utopian, tetapi hak pilih TNI memang perlu dipersiapkan, tidak hanya di tingkat TNI, tetapi juga pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil lainnya.