JAKARTA, KOMPAS.com — Keputusan Jaksa Agung Hendarman Supandji mengambil langkah pengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, membawa implikasi pada status keduanya di lembaga antikorupsi tersebut.
Anggota Komisi III, Gayus Lumbuun, mengatakan, pengajuan PK mengaktifkan kembali status keduanya sebagai tersangka. Dengan status tersebut, dikatakannya, UU mengatur pimpinan KPK yang berstatus tersangka harus dinonaktifkan dari jabatannya.
"Undang-undang mengatur, status pimpinan yang tersangka itu harus nonaktif. Ini bukan perkara harus ditentukan oleh Jaksa Agung atau Presiden, tapi undang-undang yang mengatur harus nonaktif," kata Gayus, dalam diskusi "Mencari Figur Ideal Pimpinan KPK", Jumat (11/6/2010) di Gedung DPR, Jakarta.
Jaksa Agung, lanjutnya, harus konsisten dengan langkah yang diambilnya dan tak menggantung posisi pimpinan KPK. "Status Bibit-Chandra, Jaksa Agung harus menentukan sikap. Jangan menyandera KPK, jadi pimpinan tapi tidak punya kewenangan apa-apa. Kalau tidak, berarti kita tidak mau menggunakan rule of law, tapi rule of man by using law, entah itu oleh Jaksa Agung atau siapa pun juga," tegasnya.
Gayus sendiri berpendapat, pengajuan PK oleh Jaksa Agung tak sesuai aturan perundang-undangan. Ia berpandangan, seharusnya Jaksa Agung melakukan deponeering untuk benar-benar menuntaskan kasus tersebut. PK tidak bisa diajukan oleh Jaksa Agung, tetapi oleh terpidana atau ahli warisnya.
Upaya hukum luar biasa itu, jelas Gayus, juga tak bisa dilakukan untuk kasus praperadilan. "PK itu untuk kasus pemidanaan dan sudah berkekuatan hukum tetap. Jangankan PK, kasasi saja tidak bisa. Hukum acara tidak ada yang di-appeal sampai ke PK," kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.