Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemekaran Wilayah, Distribusi, dan Representasi

Kompas.com - 10/06/2010, 04:19 WIB

Oleh Cornelis Lay

Pemekaran wilayah kembali menjadi sentral perdebatan publik. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, hampir tak ada penjelasan baru kecuali eksploitasi berlanjut atas watak patologis gejala ini.

Korupsi, penyalahgunaan wewenang, kegagalan pelayanan, inefisiensi, ketamakan elite, kebangkitan politik etnis, egoisme, oligarki, dan sejenisnya diproyeksikan sebagai penyakit kronis daerah baru. Beberapa di antaranya diandaikan sebagai penjelas di balik maraknya usul pemekaran. Penyakit-penyakit ini diisolasi dari tata kelola kekuasaan Indonesia secara umum.

Padahal, tak satu pun khas daerah pemekaran: semua penyakit normal Indonesia. Karena itu, penting bagi kita keluar dari jebakan analisis penstereotipan patologis ini. Analisis yang mengriminalisasi kebijakan sendiri. Ini agar jalan keluar yang lebih masuk akal bisa ditemukan.

Problema distribusi

Maraknya usulan pemekaran punya penjelasan bervariasi. Namun, data 10 tahun terakhir menunjukkan lebih dari 90 persen tuntutan datang dari luar Jawa dan Bali. Ini merefleksikan dua hal: kronisnya persoalan distribusi di luar Jawa; dan sebaliknya, mulai melangkahnya Jawa dan Bali ke fase akumulasi sebagai prioritas. Luar Jawa masih terus bergulat dengan isu distribusi, sementara di Jawa dan Bali—sebab infrastruktur pemerintahan dan fisik sangat stabil, serta tingginya kapasitas produksi—aksesibilitas setiap jengkal wilayah ke barang publik bukan lagi isu.

Jika hal di atas disepakati, kita akan sepakat pula, cara paling masuk akal mengurangi hasrat memekar diri adalah penyelesaian secara sistematis persoalan distribusi ini. Pelarangan melalui intimidasi wacana lewat pemberitaan negatif media; intimidasi politik melalui ”moratorium” dan ancaman pembubaran atau penggabungan; intimidasi teknokrasi melalui ancaman pengurangan dan penundaan DAU; ataupun intimidasi legal melalui pencabutan klausul UU yang memberikan celah bagi pemekaran, bisa dipastikan akan menyusutkan gairah pemekaran.

Risikonya sangat besar. Pertama, hasrat mendapatkan ruang keadilan distributif lewat pemekaran boleh jadi akan bertukar wajah jadi sesuatu yang ekstrem. Kedua, potensi kebijakan pemekaran sebagai instrumen mewujudkan atau melindungi kepentingan nasional bisa terkubur bersamaan dengan ditutupnya peluang pemekaran.

Salah satu kelemahan regulasi di sekitar pemekaran adalah menempatkannya sebagai properti dan kepentingan daerah. Negara nasional diandaikan tak punya kepentingan atau, setidaknya, netral. Tengok saja berbagai kriteria dan prosedurnya. Semua berbicara tentang daerah. Yang terlewatkan justru kepentingan nasional—melindungi integritas teritorial dan memastikan kehadiran negara secara lebih konkret di tengah rakyatnya—yang sangat mungkin difasilitasi melalui instrumen ini.

Pemekaran mestinya bisa sebagai dasar legal bagi pusat untuk menginstalasi infrastruktur pemerintahan di kawasan perbatasan. Kawasan, karena lemahnya kapasitas governability negara, sering dihadapkan pada persoalan. Kealpaan negara di banyak kawasan terisolasi untuk jangka waktu sangat lama mestinya bisa dijembatani jika negara nasional bisa berinisiatif menghadirkan diri secara lebih konkret lewat kebijakan ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com