Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemekaran Wilayah, Distribusi, dan Representasi

Kompas.com - 10/06/2010, 04:19 WIB

Kembali ke distribusi. Sebagian ketimpangan merupakan fungsi dari rendahnya kapasitas negara dalam memproduksi barang-barang publik. Kita belum mampu menghasilkan dokter dan paramedik atau guru yang setara kebutuhan. Kapasitas finansial kita pun belum cukup membiayai berbagai aktivitas yang mewakili kehadiran negara sebagai pelayan: pembangunan infrastruktur dan sebagainya.

Namun, sebagian persoalan terletak pada kebiasaan kita mengelola barang publik yang masih tunduk pada hukum sederhana: melayani negara, bukan rakyat. Penyediaan rumah sakit (RS), misalnya, sepenuhnya mengikuti logika level pemerintahan. RS kelas tertentu hanya bisa dibangun di level pemerintahan tertentu, bahkan sebatas di ibu kota. Tak aneh jika pergulatan kebanyakan daerah ditandai dua kecenderungan: berjuang jadi daerah otonom di tahap awal dan berkelahi memperebutkan ibu kota di fase selanjutnya.

Dalam sejumlah kasus, hal terakhir ini berakhir dengan pertumpahan darah. Yang dipertengkarkan sederhana: penempatan barang publik. Distribusi modal nasional pun berjalan dalam logika setara: porsi terbesar uang republik didedikasikan untuk Jakarta, lalu provinsi, diikuti kota/kabupaten. Lapis pemerintahan berikutnya praktis dapat sisa-sisanya.

Karena itu, pemberian perhatian lebih serius melalui penataan kembali sistem distribusi sumber daya nasional merupakan solusi mendasar. Secara empiris kita harus bisa mengembangkan kebiasaan pengelolaan barang publik: sebuah RS kelas atas, misalnya, bisa hadir di sebuah pulau terpencil atau pedalaman yang bukan ibu kota tanpa melahirkan sengketa administrasi dan politik. Untuk itu, desain kelembagaan pemerintahan perlu dirancang balik. Kita perlu memfungsikan kecamatan (atau distrik dalam konteks Papua) sebagai mata rantai terdepan sistem pelayanan sehingga penyebaran barang publik bisa berada dalam jarak masuk akal.

Representasi

Problem lain yang berada di balik hasrat menggebu pemekaran adalah representasi. Hasil riset panjang UGM mengindikasikan seriusnya persoalan ini. Kecenderungan untuk melayani kawasan atau kelompok primordial sendiri sambil mengecualikan kelompok lain adalah fenomena yang luas berkembang di daerah- daerah. Ditutupnya akses suatu kawasan atau kelompok primordial dari wilayah pengambilan kebijakan—bahkan sekadar menjadi PNS—adalah gejala yang sama luasnya.

Kita, sialnya, belum memiliki instrumen pencegah. Namun, hal ini harus juga jadi perhatian serius. Pembentukan UU yang menjamin hak warga negara menuntut otoritas politik jika diperlakukan diskriminatif untuk mendapatkan akses ke pelayanan atau ke arena publik boleh jadi akan jadi alat legal penting. Namun, bisa dipastikan ini saja jauh dari memadai. Kita membutuhkan instrumen yang bisa menjadi kesepakatan sosial sesama warga bangsa: kita adalah Indonesia.

Di sinilah pentingnya transformasi model kewargaan yang bercorak ethnos, warga dari komunitas primordial, menjadi demos, warga negara yang secara politik aktif sebagai basis dari pembangunan kewarganegaraan. Ini pekerjaan pembangunan karakter bangsa yang membutuhkan energi dan kesepakatan kita bersama. Kita bisa saja memulai dari hal sederhana: mentransformasikan KTP kita dari dokumen bukti warga desa menjadi alat bukti kewarganegaraan Indonesia sebagai negara bangsa.

Cornelis Lay Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com