JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah menggenjot kenaikan anggaran belanja pertahanan secara signifikan lima tahun ke depan, dari 0,9 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) menjadi 1,5 persen dari PDB, dinilai hanya bisa terlaksana jika pemerintah dapat menjamin besaran kenaikan bisa tetap stabil setiap tahun, sekitar Rp 12 triliun-Rp 15 triliun per tahun.
Jika kenaikan besaran anggaran yang stabil tadi bisa konsisten dilakukan, ditambah sejumlah upaya lain macam perbaikan dan perubahan sistem pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) prajurit TNI, diyakini alokasi anggaran, khusus pengadaan senjata, bisa naik sampai 50 persen dari yang ada sekarang.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi PDI-P, TB Hasanuddin, Rabu (5/5/2010), saat dihubungi Kompas.
Jika semua prasyarat tadi tidak bisa dipenuhi, dia mengaku pesimistis rencana menaikkan alokasi anggaran tadi akan efektif meningkatkan dan memodernisasi kekuatan dan kemampuan pertahanan Indonesia, terutama TNI.
"Dalam Buku Putih Kementerian Pertahanan terkait pembangunan postur pertahanan disebutkan, untuk tahun 2010-2014 sebetulnya diproyeksikan kenaikan 1,8 persen - 2,1 persen dari PDB. Akan tetapi kenyataannya kan untuk anggaran pertahanan 2009-2010 masih Rp 42,3 triliun atau 0,7 persen dari PDB," ujar Hasanuddin.
Jika kondisi seperti itu terus terjadi, Hasanuddin mengaku khawatir kenaikan sampai 1,5 persen dari PDB saja, hingga tahun 2014, bisa tercapai. Belum lagi jika ternyata pada kenyataannya nanti, lagi-lagi, alokasi anggaran belanja pertahanan lebih banyak diserap keperluan belanja pegawai dan belanja barang, daripada untuk belanja modal dalam arti pengadaan senjata baru.
Sementara itu terkait isu pengadaan dan modernisasi persenjataan, Hasanuddin mengingatkan agar hal itu bisa dilakukan secara selektif dan benar-benar jenis persenjataan yang diperlukan, terutama untuk pengamanan kawasan perbatasan dan patroli wilayah untuk mencegah berbagai praktik ilegal yang sangat merugikan keuangan negara.
"Jadi misalnya, terkait pengembangan peralatan dan sistem persenjataan (alutsista) TNI Angkatan Udara dan Laut, coba beli senjata yang memungkinkan mereka mengontrol wilayah laut Indonesia atau mengintersepsi pesawat terbang yang masuk wilayah udara kita secara melanggar aturan," ujar Hasanuddin.
Dengan begitu, lanjut Hasanuddin, pengembangan dan penambahan jumlah personel TNI baru atau pengadaan alutsista canggih dan berharga mahal, macam kapal selam, belum terlalu perlu dilakukan sekarang. "Untuk kapal perang, cukup memperbanyak kapal perang atas permukaan untuk dipakai berpatroli. Cari lah persenjataan yang bagus namun harganya bisa murah dan terjangkau. Pastikan juga daya serap anggaran pengadaan alutsista itu bisa dilakukan dengan baik, efektif, efisien, serta terjamin transparansinya," katanya.
Hasanuddin meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan TNI, berani mengurangi persenjataan berusia tua dan memerlukan biaya perawatan tinggi. Dengan begitu alokasi anggaran pemeliharaan bisa dialihkan untuk pengadaan senjata baru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.