Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hasanuddin: Kenaikan Harus Realistis

Kompas.com - 05/05/2010, 18:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah menggenjot kenaikan anggaran belanja pertahanan secara signifikan lima tahun ke depan, dari 0,9 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) menjadi 1,5 persen dari PDB, dinilai hanya bisa terlaksana jika pemerintah dapat menjamin besaran kenaikan bisa tetap stabil setiap tahun, sekitar Rp 12 triliun-Rp 15 triliun per tahun.

Jika kenaikan besaran anggaran yang stabil tadi bisa konsisten dilakukan, ditambah sejumlah upaya lain macam perbaikan dan perubahan sistem pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) prajurit TNI, diyakini alokasi anggaran, khusus pengadaan senjata, bisa naik sampai 50 persen dari yang ada sekarang.

Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi PDI-P, TB Hasanuddin, Rabu (5/5/2010), saat dihubungi Kompas.

Jika semua prasyarat tadi tidak bisa dipenuhi, dia mengaku pesimistis rencana menaikkan alokasi anggaran tadi akan efektif meningkatkan dan memodernisasi kekuatan dan kemampuan pertahanan Indonesia, terutama TNI.

"Dalam Buku Putih Kementerian Pertahanan terkait pembangunan postur pertahanan disebutkan, untuk tahun 2010-2014 sebetulnya diproyeksikan kenaikan 1,8 persen - 2,1 persen dari PDB. Akan tetapi kenyataannya kan untuk anggaran pertahanan 2009-2010 masih Rp 42,3 triliun atau 0,7 persen dari PDB," ujar Hasanuddin.

Jika kondisi seperti itu terus terjadi, Hasanuddin mengaku khawatir kenaikan sampai 1,5 persen dari PDB saja, hingga tahun 2014, bisa tercapai. Belum lagi jika ternyata pada kenyataannya nanti, lagi-lagi, alokasi anggaran belanja pertahanan lebih banyak diserap keperluan belanja pegawai dan belanja barang, daripada untuk belanja modal dalam arti pengadaan senjata baru.

Sementara itu terkait isu pengadaan dan modernisasi persenjataan, Hasanuddin mengingatkan agar hal itu bisa dilakukan secara selektif dan benar-benar jenis persenjataan yang diperlukan, terutama untuk pengamanan kawasan perbatasan dan patroli wilayah untuk mencegah berbagai praktik ilegal yang sangat merugikan keuangan negara.

"Jadi misalnya, terkait pengembangan peralatan dan sistem persenjataan (alutsista) TNI Angkatan Udara dan Laut, coba beli senjata yang memungkinkan mereka mengontrol wilayah laut Indonesia atau mengintersepsi pesawat terbang yang masuk wilayah udara kita secara melanggar aturan," ujar Hasanuddin.

Dengan begitu, lanjut Hasanuddin, pengembangan dan penambahan jumlah personel TNI baru atau pengadaan alutsista canggih dan berharga mahal, macam kapal selam, belum terlalu perlu dilakukan sekarang. "Untuk kapal perang, cukup memperbanyak kapal perang atas permukaan untuk dipakai berpatroli. Cari lah persenjataan yang bagus namun harganya bisa murah dan terjangkau. Pastikan juga daya serap anggaran pengadaan alutsista itu bisa dilakukan dengan baik, efektif, efisien, serta terjamin transparansinya," katanya.

Hasanuddin meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan TNI, berani mengurangi persenjataan berusia tua dan memerlukan biaya perawatan tinggi. Dengan begitu alokasi anggaran pemeliharaan bisa dialihkan untuk pengadaan senjata baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com