Untuk mengurangi risiko tersebut, tata ruang yang tepat disesuaikan dengan kerawanan bencana gempa juga dibutuhkan. Saat ini, menurut Cecep, Rancangan Undang-Undang Tata Informasi Geospatial Nasional yang di dalamnya mengatur antara lain tentang perencanaan tata ruang wilayah nasional masih digodok di DPR.
”Yang saya khawatirkan adalah pelaksanaannya nanti kalau sudah disahkan. Siapa yang akan mengecek apakah UU itu dilaksanakan. Apakah izin mendirikan bangunan itu juga sudah menyertakan syarat yang sesuai dengan standar bangunan tahan gempa?” kata Cecep yang terlibat aktif pada penelitian Bakosurtanal tentang percepatan gerak tanah untuk memantau aktivitas lempeng tektonik.
Gempa terus terjadi
Surono menegaskan, gempa akan terus terjadi, sementara gempa dan karakter tanah adalah dua wilayah yang tak bisa direkayasa. ”Gempa pasti akan terus terjadi dan karakter tanah secara luas sulit diubah dengan teknologi. Alamnya sudah begitu,” katanya. Yang bisa dilakukan di antaranya menghindari membangun gedung di kawasan rawan gempa atau meningkatkan kualitas bangunannya.
Hening menyarankan, pemerintah daerah perlu merencanakan pemindahan daerah permukiman dan gedung-gedung publik yang berdiri di atas daerah sangat rawan gempa demi mengurangi risiko bencana, atau segera memperkuat konstruksi rumah atau bangunan sesuai standar bangunan yang tahan gempa.(GSA/ISW)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.