Tak lama setelah tiba di Indonesia, misi pertama Hercules adalah operasi pembebasan Irian Barat. Dua C-130B terbang ke Irian pada 19 Mei 1962. Setelah itu, dalam pengabdiannya di TNI AU, sejumlah Hercules mengalami musibah.
Yang pertama adalah hilangnya Hercules C-130B dengan nomor registrasi T-1307 pada misi Dwikora 1 September 1964. Lalu, 16 September 1965 T-1306 tertembak oleh pasukan darat sendiri di Long Bawang.
Masih ada kecelakaan yang melibatkan Hercules Patroli Maritim A-1322 di Sibayak pada 21 November 1985. Tetapi, yang amat menggetarkan adalah musibah yang terjadi seusai HUT TNI 5 Oktober 1991. Pesawat yang akan terbang mengangkut kembali 121 anggota Pasukan Khas TNI AU ke Bandung itu jatuh di Condet, Jakarta Timur.
Populasi Hercules TNI AU menyusut lagi dengan jatuhnya A-1325 di Magetan. Dalam edisi 2008 The Military Balance IISS disebutkan bahwa komposisi Hercules di TNI AU mencakup 8 unit C-130B, 2 unit KC-130B, 4 unit C-130H, dan 6 unit C-130H-30 sehingga total ada 20 sebelum musibah Magetan.
TNI AU juga telah mengupayakan peremajaan Hercules. Seperti diberitakan situs Defence World (27/22/2008), Singapore Technology Engineering melalui anak perusahaannya, ST Aerospace, telah dipercaya untuk memudakan empat Hercules C-130B TNI AU dengan kontrak senilai 51 juta dollar AS. Dengan program ini, tipe B diupayakan menjadi tipe H.
Semua upaya itu tentunya dimaksudkan untuk membuat komponen transpor TNI AU semakin tangguh. Tetapi, program retrofit atau peremajaan ini semestinya juga disertai dengan program pengurangan kecelakaan. Ini pula sebenarnya yang menjadi program KSAU demi KSAU.
Demikian terobsesinya TNI AU dengan upaya pengurangan kecelakaan sehingga TNI AU juga mencanangkan Peta Jalan menuju Kecelakaan Nol (Road Map to Zero Accident). Sayang bahwa kecelakaan bukannya makin surut, tetapi justru makin bertambah.
Komitmen politik
Pada masa Orde Baru, mendiang Presiden Soeharto yang memimpin Indonesia selepas era konfrontasi amat menenggang perasaan negara-negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura, yang terkena dampak langsung politik konfrontasi. Karena itu pula anggaran pertahanan Indonesia relatif kecil, di bawah 5 persen produk domestik bruto.
Kini zaman telah berubah. Sejumlah perkembangan di kawasan seperti dialami sendiri oleh Indonesia sehubungan dengan isu Ambalat menuntut Indonesia untuk lebih realistis dalam merespons isu keamanan.
Sayang bahwa perekonomian Indonesia sejak krisis 1997 tak kunjung pulih meyakinkan. Pada sisi lain, rupiah yang telah susut nilainya hanya bisa melihat harga-harga alutsista yang bernilai puluhan, bahkan ratusan juta dollar, atau dalam rupiah menjadi ratusan miliar bahkan triliunan. Padahal, kebutuhan lain terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial masih mendesak.
Meski demikian, tetap harus ada komitmen politik dari pimpinan nasional terhadap pertahanan. Tanpa komitmen kuat pula, TNI AU dan angkatan lain, akan beroperasi tidak optimal karena menerbangkan pesawat pun dibutuhkan persyaratan minimal guna membuat penerbang bisa melaksanakan tugas-tugasnya dengan profesionalitas penuh dan hati mantap karena diliputi perasaan sejahtera.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.