Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puisi-puisi Timur Sinar Suprabana

Kompas.com - 20/12/2008, 21:06 WIB

inilah kota lintangpukang, saudara.
kota di mana kepala daerahnya
menganggap keindahan kota lebih utama
dibanding kegigihan orang-orang pinggiran
dalam menempuh upaya menafkahi istri dan anak-anaknya.
kota di mana para pedagang kaki lima
tak henti jadi sasaran tembak untuk terus diopyak-opyak.
kota di mana para tukang becak dioyak-oyak
dan diguwak ke tempat jin buang anak.
kota di mana polisi seenaknya
membangun pos pengatur lalulintas di trotoar.


kota di mana baliho-baliho berukuran besar
terpancang tanpa perhitungan matang
dan tidak pula membayar pajak dalam jumlah yang benar.
kota di mana pasar tradisional-pasar tradisionalnya
gampang terbakar,
kota di mana super market-super market
dan mall-mall serta hotel-hotel
dan pabrik-pabrik berlomba mencuri listrik.
kota di mana lengkong, gang, bahkan jalan raya utama kota
jadi sarang kasak-kusuk ketidakpuasan
yang tak pernah menghasilkan apa-apa
selain pandang mata tanpa kepastian
dan tegur sapa penuh kecurigaan.

inilah kota lintangpukang, saudara.
kota yang diriuhi 6.000 lebih anak jalanan
dan 9.000 lebih anak putus sekolah.
kota yang menyimpan sekurang-kurangnya 147 perempuan remaja
yang pernah menjadi korban tindak kekerasan seksual oleh ayah
atau pamannya sendiri.
kota yang jumlah pelacurnya nyaris berimbang
dengan jumlah total jadual pengajian, biston rumah tangga,
ataupun jumlah ragam kebaktian dan misa-misa di gereja-gereja
dengan papan disorot lampu seribu watt.

inilah kota lintangpukang, saudara.
kota yang memiliki hampir segala.
kecuali yang berkaitpaut dengan kemesraan,
kasihsayang dan Cinta
yang memungkinkan kita berbagi senyum dan pandang mata
tanpa waswas dan curiga!

semarang 2008

Timur Sinar Suprabana:
kota morgana

 :hamidah!
 hai, hamidah!

menjelang senja.
setidaknya kusangka bahwa aku sedang sudah tiba di menjelang senja.
mendadak engkau, perempuan yang meruang di sela jeda degab jantungku,
membayang ke segala mana aku mengarahkan pandang mataku.
maka tiap penjuru menjadi kamu. menjadi rindu. menjadi candu
yang bikin ungu warna jiwaku yang menyayangimu.

aku sedang di pantai kotamu. mengajak angin berbincang mengenaimu,
kerna tak ada orang yang mau bercakap tentang harapan
dan pemikiran yang berkilat tajam tiap kamu
berbicara soal perlunya orang memandang orang
harus sebagai sesama insan. tak terkecuali bagaimana seharusnya lelaki
bersikap terhadap perempuan.
“insan tak mengenal aniaya dan tipudaya,” katamu.
“insan selalu menemu jalan untuk mewujudkan harapan.
kerna insan senantiasa bisa menaklukkan rasa putus asa.”

ah, angin datang pergi pulang. laut di sesudah pantai sedang tenang.
permukaannya yang datar justru terasa menggelisahkan.
dalam rasa bimbang yang tak lagi menggelombang
aku melihat aniaya dan tipu daya jadi wajah hampir segala.
bahkan sekalipun dalam angan
tak lagi ada bayang jalan untuk mewujudkan harapan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com