Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puisi-puisi Timur Sinar Suprabana

Kompas.com - 20/12/2008, 21:06 WIB

aku tak tahu mengapa, aku tak faham bagaimana mulanya,
aku tak mengerti sorga macam apa yang disangka bakal menjadi miliknya.
sampai makin banyak saja kelompok yang mengancam kelompok lainnya
sambil menyerukan pembunuhan, pembantaian
dan bahkan meneriakkan ajakan melakukan pembasmian.

bagaimana bisa muncul keyakinan,
bahwa yang bukan kelompoknya adalah wirog
atau hama di tengah kehidupan
dan oleh karenanya harus dibinasakan.

katakan padaku, Saudara.
katakan padaku.
di negeri macam bagaimana kini kita sedang berada?

di mana-mana kesumpegkan merajalela.
maksud baik kehilangan gorong-gorong pelepasannya.
senyum dan pandang mata bisa jadi mula nyala sengketa.
orang-orang menjelma jadi mata dadu,
sebagian lain berubah jadi batang-batang ciamsi.
reog, jaran kepang dan barongsai meniup uplik, teplok dan lampion.
pikiran kehilangan pemikiran. rasa kehilangan perasaan.
tindakan tak berpijak pada aturan. dan aturan bersliweran tanpa pengawasan.
kasunyatan dipedaya mitos-mitos yang melemahkan daya juang.

aku mendengar presidenku memekik, “bersama kita bisa!
bersama indonesia bisa!”
aku tertawa dan bertanya pada gema tawaku sendiri,
“bagaimana dia bisa ajak kita bisa
jika sekadar untuk dengan benar memekik bisa dia tidak bisa?
kalaupun bisa, jangan lupa, bisa memekikkan bisa adalah satu hal
dan bisa benar-benar mewujudkan apa yang kita pikir bisa lakukan
adalah hal yang lainnya lagi!”

aku mendengar anak-anak esde dengan fasih bernyanyi,
“nenek moyangku orang pelaut...” sambil membusungkan dada.
tetapi aku melihat
laut negeri ini dijarah kapal-kapal asing raksasa penangkap ikan,
sementara nelayan-nelayan di banyuwangi, di tuban, di rembang,
di jepara dan tegal serta di daerah-daerah lain tak melaut.

mereka tak melaut bukan lantaran gigrik karena cuaca buruk,
tetapi karena tak mampu membeli solar buat mengumpan motor tempelnya.
sementara yang tetap bisa melaut ditabrak kapal dagang
atau ditembaki angkatan laut negara tetangga.kapalnya dibakar.
orang-orangnya dipenjara.
dan pemerintah kita menganggapnya sebagai peristiwa rutin biasa!

aku mendengar dalang wayang kulit medar crito
bahwa negeri ini adalah negeri gemah ripah loh jinawi.....
tetapi aku melihat para petani tak bisa tandur lantaran tak ada bibit.
dan mereka yang bisa tandur tak bisa beli pupuk,
karena harga pupuk jauh lebih tinggi dibanding harga jual gabah.
aku mendengar para pasangan calon bupati, calon walikota,
calon gubernur dan bahkan dulu juga para calon presiden
menjanjikan pendidikan gratis.
tetapi aku melihat pawai anak-anak putus sekolah melarik
kemriyek  melajur-lajur di jalan-jalan raya utama kota
dan juga di jalan-jalan inpres di lebih dari 1200 pedesaan.
aku juga melihat bangunan reot ribuan sekolah dasar,
ratusan diantaranya ambruk bukan karena angin puting beliung.
melainkan karena tak ada kucuran dana untuk perawatan
atau apa lagi buat renovasi.


katakan padaku, Saudara. katakan padaku.
negeri macam apa yang rakyatnya merindukan ratu adil
tapi pemimpin-pemimpinnya menggadaikan dampar kencono
ke orang-orang monco.
membiarkan hutan diplontosi, membiarkan sungai-sungai dan udara dicemari,
membiarkan gunung emas dikeruk tuntas dan membiarkan lautan dikuras!

katakan padaku, saudara.
jamur macam apa, lumut macam apa, rumput macam apa,
alang-alang macam apa yang tumbuh membelukar
di benak dalam batok kepala mereka?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com