JAKARTA, SENIN - Kalangan sipil dikritik terlalu fokus dan terkesan berlebihan mengkritik masalah laju proses reformasi TNI namun malah melupakan proses reformasi partai politik dan birokrasi, yang diyakini justru malah jauh lebih tertinggal dibandingkan reformasi militer. Penilaian itu terlontar dalam peluncuran buku kumpulan artikel opini mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, di Kompas, berjudul Aku Hanya Tentara, Senin (10/11).
Turut hadir dalam acara itu mantan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim, peneliti militer dari LIPI Indria Samego, dan anggota Komisi I Fraksi PDIP Sutradara Gintings.
"Sekarang ini tampak timpang dan tendensius. Mengapa misalnya, reformasi TNI selalu disoroti sementara reformasi birokrasi dan sipil, terutama partai politik, sepertinya kurang. Demokrasi kita masih belum diikuti adanya kultur berdemokrasi. Lihat saja (pilkada) Maluku Utara atau daerah lain," ujar Kiki.
Menurut Kiki, kultur berdemokrasi sangat diperlukan. Demokrasi di Indonesia menurutnya masih sebatas prosedural. Kultur-kultur berdemokrasi macam keadilan (fairness), kesetaraan (egaliter), apresiatif, dan toleransi, sebagai landasan bagi para politisi untuk berdemokrasi, dinilainya masih belum ada.
Ketika demokrasi langsung dengan model one man one vote diterapkan, yang berdampak menyamakan suara atau hak politik siapa pun, baik seorang profesor di Pulau Jawa maupun seorang warga Papua yang masih berkoteka; tidak aneh jika yang muncul kemudian adalah anarki dan pertikaian. Hal itu karena kultur berdemokrasi memang belum ada," ujar Kiki.
Menurut Kiki, keberadaan parpol terkait erat dan bertanggung jawab atas pendidikan politik masyarakat sekaligus dalam proses rekrutmen kepemimpinan nasional. Dengan begitu, Kiki mendesak para politisi, baik berlatar belakang sipil maupun militer, untuk harus berkomitmen memperbaiki semua persoalan tadi.
Pendapat kurang lebih senada juga disampaikan Indria Samego, yang memperingatkan parpol agar segera melakukan perubahan signifikan. Menurutnya, dalam masa transisi dan dengan sikap masyarakat yang terus berubah seperti sekarang, apa pun bisa saja terjadi. "Militer saat ini memang sudah tidak lagi bermain dalam day to day politics melainkan sudah pada tataran yang jauh lebih tinggi lagi. Mereka juga punya pengalaman panjang dalam berpolitik. Jadi jangan bayangkan di sini akan terjadi seperti di Thailand," ujar Indria.
Indria menambahkan, jika parpol dan para politisi sipil tidak segera mengubah tindak tanduk mereka, bukan tidak mungkin masyarakat kalangan bawah lah yang justru berubah pikiran dan meminta militer untuk kembali masuk dalam politik. Gejala ke arah sana menurut Indria sudah mulai terjadi ketika di sebagian kalangan masyarakat sudah mulai muncul kerinduan terhadap kondisi dan pola pemerintahan seperti di masa lalu.
"Selain itu dalam setiap pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, tingkat partisipasi masyarakat juga semakin turun bahkan tinggal separuhnya. Jadi kalau tren pengelolaan negara ini justru mengarah pada korupsi dan kecenderungan yang mengancam kesejahteraan rakyat, segala macam improvisasi politik bisa saja terjadi. Buat masyarakat awam, demokrasi kan cuma alat untuk mencapai tujuan," ujar Indria.
Sementara itu politisi asal PDIP, Sutradara Gintings, berpendapat lain. Menurutnya, kondisi yang terjadi saat ini tidak lepas dari tanggung jawab militer dan pemerintahan masa lalu, yang memang tidak pernah mengizinkan atau membiarkan adanya perbedaan pandangan di masyarakat.
Dengan begitu menurut Gintings, kalangan militer tidak boleh begitu saja lepas tangan dan malah menuduh persoalan yang terjadi sekarang lantaran ketidakbenaran kalangan sipil, terutama partai politik. Gintings mengakui demokrasi yang terjadi di masyarakat sekarang masih sebatas prosedural dan belum substantif. Akibatnya masyarakat sipil memang masih belum punya cukup kapabilitas mengendalikan pemerintahan secara efektif dan menuntaskan persoalan yang terjadi di antara mereka secara elegan.
"Akan tetapi mereka (militer) jangan cuma bisa menyalahkan, karena justru yang terjadi sekarang adalah dosa mereka yang selama tiga dekade menjadikan masyarakat sipil sebagai golongan masyarakat kelas tiga atau empat. Saya akui memang masih ada masalah, tapi itu juga kesalahan militer di masa lalu," ujar Gintings.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.