Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lasem, Simpul Sejarah yang Pudar

Kompas.com - 13/09/2008, 03:00 WIB

”Selain menyelundupkan senjata, mereka juga menyelundupkan candu. Gudang-gudangnya kini berupa rumah-rumah tua dengan pagar tinggi di tepi Sungai Lasem di Dasun. Rumah itu kini menjadi sarang burung walet. Dulu, dari sungai ada terowongan air menuju bangunan itu,” kata Sigit Witjaksono.

Titik nadir

Muara Sungai Lasem, suatu sore. Perahu-perahu kayu tambat di pinggir sungai. Angin berembus pelan. Angin yang sama membawa pasukan Dai Nippon mendarat di pantai ini tahun 1942. Pramoedya Ananta Toer mencatat, dengan bantuan buku peta Tropisch Nederland dari Lasem, Jepang menginvasi pedalaman Jawa.

Di Lasem, Jepang mengambil alih satu galangan kapal Belanda, lalu membangun dua galangan lagi. Sejarah pembuatan kapal di Lasem, yang telah dimulai sejak era imperium Majapahit dan Mataram Islam, dilanjutkan Jepang.

Peter Boomgaard dalam bukunya, Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880 (1989) menyebutkan, sebelum kedatangan Belanda, Lasem dan Rembang telah menjadi pusat pembuatan kapal. Jumlah pekerjanya lebih dari 500 orang.

Dalam buku Summa Oriental, lebih dahulu penjelajah Portugis Tome Pires (sekitar 1512-1515) mencatat Rembang, yang waktu itu masuk dalam wilayah kekuasaan Brhe Lasem, sejak dahulu mempunyai galangan kapal. Dikatakannya, industri kapal berkembang karena hutan di selatan Rembang lebat. Walau kini sulit sekali menemukan pohon berukuran memadai di Rembang dan Lasem.

Kisah mengenai galangan kapal Belanda dan Jepang di Lasem dituturkan Sudaryo (74) di kediamannya di Desa Dasun. Sudaryo masih 9 tahun ketika membantu ayahnya bekerja di galangan kapal Belanda. ”Waktu itu Lasem ramai sekali. Lebih dari 200 orang bekerja di galangan kapal. Mereka membuat kapal besi sepanjang lebih dari 30 meter. Plat besi disatukan dengan paku yang dilelehkan, bukan disekrup,” kata Sudaryo.

Kapal-kapal Belanda yang selesai dibangun kemudian dikirim ke Batavia untuk mengangkut hasil bumi dari tanah Jawa. ”Tahun 1942, saat Jepang datang, galangan kapal Belanda diambil alih. Jepang membuat dua galangan lagi untuk kapal kayu,” tambah Sudaryo.

Jejak galangan kapal Belanda dan Jepang itu masih dapat dilihat di Kali Lasem, tepat di Desa Dasun. Tiga fondasi batu, berbentuk cetakan perahu berukuran panjang lebih dari 50 meter, terlihat di tegalan, sekitar 10 meter dari tepi Sungai Lasem. ”Dulu galangan kapal persis di pinggir sungai,” kata Sudaryo. Tembok galangan masih utuh, tetapi lumpur memenuhi ruang antara tembok dan air sungai. Dulu, tiap enam bulan Jepang mengeruk alur sungai.

Setelah Jepang pergi, industri kapal di Lasem telantar. Tahun 1970-an, berangsur batik Lasem memudar karena tak ada penerus. Hutan jati di hulu yang gundul tidak lagi mampu menahan gelontoran tanah masuk ke sungai sehingga Sungai Lasem pun makin dangkal dan sempit. Kota yang dibangun trah Bhre Lasem semakin sepi, menuju titik nadir.... (RYO)

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com