Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelajaran dari Raksasa Tua yang Membatu

Kompas.com - 04/09/2008, 15:02 WIB

Gereja Sion dibangun setelah para budak menjadi mardijker. Ketika mulai digunakan, gereja dalam kota rusak, terbakar. Komunitas VOC, para petinggi dan keluarganya, pindah beribadah ke Gereja Sion. Lama kelamaan, gereja menjadi etalase kemewahan kaum elit Batavia. Kaum mardijker pun terusir dari sana.

Mereka lalu pindah ke lokasi yang saat ini disebut Kampoeng Toegoe di Kelurahan Tugu, Kecamatan Koja, dan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. "Kata Toegoe berasal dari kata, 'Por "tugu" ese'. Kampung ini terbentuk tahun 1661," jelas Arthur James Michiels (40), Humas Ikatan Keluarga Besar Toegoe (IKBT).

Tahun 1738, mereka membangun gereja, tetapi dihancurkan orang-orang China dalam peristiwa pemberontakan China tahun 1740. "Mereka menganggap, mardijker adalah kaki tangan VOC," lanjut Ketua IKBT, Andre Juan Michiels. Tahun 1744-1747, atas kebaikan hati tuan tanah Justinus Vinck, dibangunlah gereja baru yang hingga kini berdiri dan dikenal sebagai Gereja Toegoe.

Di akhir abad 18, jumlah kaum mardijker kian menyusut, sehingga dua kompi mardijker dibubarkan. Kapten terakhir kelompok ini adalah A Michiels, nenek moyang Arthur dan Andre yang meninggal tahun 1833.

Ketika muncul gerombolan bersenjata tahun 1947, sebagian orang-orang Toegoe diungsikan ke Pejambon, Jakarta Pusat (Jakpus) oleh dua sesepuh Toegoe, Mathias Michiels dan Rusjard Michiels. Tepatnya, di belakang Gereja Immanuel, Jakarta Pusat atau di seberang Stasiun Kereta Api Gambir.

Kini, jumlah mereka di kedua tempat itu tinggal sekitar 700 jiwa. Sebagian keturunan mereka, keluarga Salomons, Hendriks, Da Costa, dan Seymons, hilang. Yang berkembang tinggal dari keluarga Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Quiko, dan Braune.

Perbudakan

Untuk membangun Batavia, awal abad ke-17, VOC membawa banyak imigran, terutama dari kalangan mardijker dan China. Kaum mardijker dibawa ke Batavia sebagai budak setelah Belanda merebut sejumlah koloni Portugis. Ketika Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen berkuasa, ia mengerahkan orang-orang China asal Fukien, China Selatan. Di bawah pimpinan Kapitan So Beng Kong, masyarakat China itu mendirikan kastil dan kota Batavia. Penggantinya, Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier (1737-1741) melanjutkan kebijakan pendahulunya.

Akibat kaum imigran China bebas masuk ke Batavia, populasi mereka meluap. Remco Raben mencatat, jika tahun 1709 jumlah imigran terbesar di pinggiran Batavia masih didominasi kaum mardijker, maka tahun 1719 jumlah imigran China menjadi yang tertinggi, 7.550 jiwa. Saat itu, jumlah kaum mardijker merosot menjadi 6.634 jiwa. Tahun 1739, jumlah imigran China mencapai 10.574 jiwa, sementara kaum mardijker 5.247 jiwa, dan etnis Bugis 4.521 jiwa.

Meski para imigran China bukan budak, mereka diperas oleh berbagai macam pajak "China" oleh VOC. Pajak-pajak tersebut membuat sebagian besar mereka jatuh miskin. Meski demikian, VOC terus memaksa mereka membayar pajak "China" itu. Nasib mereka tak ubahnya para budak. Tak tahan lagi menghadapi penindasan VOC, tahun 1740, mereka memberontak (baca tulisan "Angke...Genosida 1740").

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com