Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Berhadapan dengan Kekuasaan

Kompas.com - 11/04/2008, 00:43 WIB

Desa-desa tersebut adalah Desa Jangkaran dan Palihan di Kecamatan Temon; Desa Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates; Desa Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di Kecamatan Panjatan; dan Desa Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan Galur. Belasan ribu KK petani terancam tergusur dari lahan pertanian dan rumahnya.

Itu bukan pertama kalinya petani di wilayah ini dibuat resah oleh rencana pembangunan berbagai megaproyek di kawasan itu, mulai dari lapangan golf, proyek agrowisata, pembangunan pelabuhan laut, bandara internasional, dan pangkalan militer. Semua mengatasnamakan kepentingan rakyat. Namun, rakyat yang mana, tidak jelas.

Posisi petani lahan pasir di sini sangat lemah. Meskipun sudah puluhan tahun menggarap lahan di kawasan itu—tidak sedikit di antaranya bahkan sejak tahun 1960-an—status dan hak mereka terhadap lahan tersebut tak pernah jelas dan diakui.

Sebagian tanah yang dipersengketakan statusnya ini adalah tanah merah (tanah negara). Pihak pemerintah daerah sendiri mengklaim 90 persen lahan yang akan ditambang adalah tanah milik keraton (Sultan Ground) dan Pakualaman (Paku Alam Ground). Sementara itu, petani sebelumnya hanya mengenalnya sebagai tanah oro-oro tandus yang telantar dan tak bertuan, yang ibaratnya tak mungkin ditanami apa pun.

Ketika lahan tersebut sudah berubah menjadi hijau dan lahan produktif, menurut pengakuan sejumlah petani, mendadak muncullah patok-patok yang intinya mengklaim lahan itu sebagai milik Pakualaman atau Kasultanan.

Nuansa politis sangat menyengat di sini karena kebetulan saja pemegang hak kuasa pertambangan di sini adalah perusahaan milik keluarga Sultan. Indo Mines, perusahaan tambang dari Australia yang menjadi mitra kerja JMM, dalam paparan publiknya juga menyebut mitranya itu sebagai ”strong and well connected local group”.

Namun, sejumlah kerabat Kesultanan, seperti GPPH Hadisuryo dan BSW Adjikoesoemo, serta kerabat Pakualaman, seperti KPH Songko Kusumo dan KPH Wijoyo Kusumo, yang juga hadir dalam acara panen semangka di Bugel, mengatakan, kepentingan modal dalam proyek ini tak mewakili suara Kasultanan atau Pakualaman secara keseluruhan. ”Tetapi, hanya mewakili kepentingan sedikit orang yang mengatasnamakan keraton,” kata Hadisuryo.

Surat KGPAA Paku Alam IX yang ditujukan kepada Kepala Bapedalda pada 7 Januari 2003 lalu juga menegaskan hal itu. Dalam surat bernomor X/PA/2003 tersebut, Paku Alam IX sudah menyatakan bahwa tanah Paku Alam Ground (PAG) itu boleh dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi tersebut.

Surat itu dengan tegas juga menyatakan lahan tersebut hanya boleh dikembangkan untuk kegiatan pertanian dan pariwisata dan tidak boleh dialihfungsikan bagi peruntukan lain yang sifatnya mengubah sifat fisik dan hayati lahan, seperti untuk kegiatan pertambangan pasir dan sebagainya.

Surat Paku Alam IX yang ditembuskan kepada Gubernur DIY, Bupati Kulon Progo itu sendiri merupakan jawaban terhadap surat Kepala Bapedalda yang sebelumnya mempertanyakan soal status tanah tersebut.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com