Salin Artikel

Akankah PDI-P Jadi Oposisi?

Apa sebenarnya oposisi dan mengapa ia dibutuhkan?

Oposisi adalah sikap politik yang tidak mau ikut berkoalisi atau ikut serta dengan pemerintahan.

Oposisi, karena itu, berfungsi untuk mengontrol jalannya kekuasaan, bukan mengamini kekuasaan. Oposisi akan berteriak, bahkan menghardik bila kekuasaan dijalankan secara semena-mena.

Oposisi, sejatinya dimaksudkan untuk membatasi laju kekuasaan, agar tidak menindih dan sewenang-wenang.

Oposisi dalam negara demokratis, jadi mutlak adanya. Makin demokratis suatu negara, makin berkembang budaya oposisi.

Oposisi sangat dibutuhkan untuk menjaga kualitas demokrasi. Penguasa yang menafikan oposisi, adalah penguasa yang jadi tiran, dan akan melumpuhkan demokrasi, meskipun sang penguasa dipilih melalui proses demokrasi yang adil dan wajar.

Oposisi bisa dalam bentuk oposisi di parlemen (institutionalized opposition), bisa juga oposisi yang berkembang di luar parlemen. Oposisi yang terkahir ini dijalankan oleh masyarakat sipil (civil society).

Legitimasi yuridis dan moral oposisi di Indonesia, tertuang dalam Konstitusi: yakni, Pasal 20A (2) UUD 1945. Di situ dikatakan bahwa anggota DPR memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

Hak-hak tersebut bila difungsikan, akan menjadi instrumen efektif untuk mengontrol jalannya kekuasaan. Biar penguasa tidak memerintah sekehendak hati dan semaunya saja.

Memang, penggunaan hak-hak tersebut tidak secara otomatis berarti dijalankan oleh oposisi. Bisa saja penggunaan hak-hak tersebut dari anggota parlemen yang tidak masuk dalam kategori oposisi.

Namun, dengan menggunakan hak-hak tersebut, anggota parlemen sudah menyuarakan perbedaan pandangan dan sikap dengan pengendali kekuasaan.

Khusus oposisi di luar parlemen, ia memperoleh legitimasinya dari seperangkat aturan yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik yang dijamin oleh Konstitusi.

Dengan ini semua, tidak boleh kita mengatakan bahwa oposisi bukan budaya Indonesia. Selama kita berbicara tentang demokrasi, selama itu pula harus berbicara mengenai budaya oposisi.

Robert Dahl, ahli ilmu politik, mendalilkan bahwa dimensi terpenting demokrasi adalah partisipasi rakyat dan kontestasi publik. Dahl mengatakan, kontestasi publik itu adalah kultur oposisi. Muara dari ini semua, adalah kontrol terhadap kekuasaan.

Kita membutuhkan oposisi yang terinstitusi (parlemen) karena pemerintah mengelola anggaran negara. Uang tersebut adalah milik rakyat sehingga harus ada kontrol ketat mengenai pengalokasian serta penggunaan anggaran tersebut.

Bila tidak ada oposisi, maka dengan mudah akan terjadi salah kelola oleh pemerintah. Ini menyangkut masalah hukum dan moral.

Kita membutuhkan oposisi yang kuat di parlemen karena pemerintah yang mengambil kebijakan publik, menentukan kondisi hidup rakyat. Malah bisa menentukan hidup matinya rakyat.

Oposisi juga bisa mengontrol sahwat kekuasaan yang melegitimasi dirinya melalui undang-undang.

Nah, oposisi sangat penting dan relevan untuk menghindari pembuatan undang-undang yang tidak membahagiakan rakyat. Undang-undang yang membenarkan segala tindakan penguasa kendati menyengsarakan dan menghimpit rakyat.

Sementara oposisi masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk menjaga dan mengontrol apa saja yang dilakukan oleh penguasa dan wakil rakyat. Fungsi oposisi masyarakat sipil beragenda ganda: mengontrol penguasa dan mengontrol wakil rakyat sekaligus.

Bila tujuan oposisi sangat luhur, lantas mengapa banyak penguasa, dengan pelbagai dalih, termasuk dalih budaya, amat alergi dengan keberadaan oposisi.

Ini semata-mata karena syahwat berkuasa tanpa mau direcoki dengan kontrol terhadap praktik kekuasaan yang diperagakannya. Di sini, berlaku prinsip Lord Acton, sejarahwan ternama Inggris: kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan absolut akan korup secara absolut.

Nah, dalam pembentukan pemerintahan baru pada Oktober nanti, bila bukan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung PDIP dinyatakan pemenang, apakah PDI-P sebagai partai yang paling besar perolehan suaranya dalam pemilu 2024 lalu, akan menjadi partai oposisi?

Saya yakin, PDIP akan menjadikan diri sebagai partai oposisi. Tradisi menjadi partai oposisi, sudah mandarah daging dalam diri PDIP.

Tidak ada partai politik di negeri kita sekarang ini, yang memiliki jejak pengalaman menjadi oposisi, begitu panjang, selain partai berlambang kepala banteng tersebut.

PDIP sudah mematok diri sebagai partai oposisi sejak rezim Orde Baru. Partai-partai politik lain yang menjadi partai oposisi, misalnya Partai Demokrat dan PKS, belum memiliki pengalaman sebanyak PDIP.

Mengapa PDIP bisa menjadi partai oposisi begitu panjang dan tidak menimbulkan riak serta ombak politik yang menggulung dan menghempas?

Jawabannya, ada pada sikap politik yang diyakini dan dipraktikkan oleh pemimpinnya: Megawati Sukarnoputri.

Prinsip Megawati sangat sederhana: bila kita siap menang, kita juga harus siap kalah. Menang tidak menjadi rakus, kalah tidak menjadi kalap.

Sikap dan determinasi Megawati tersebut, lantaran kharisma dan wibawanya yang begitu kuat, maka serta merta para kadernya mengikuti jejaknya.

Coba kita lihat dalam realitas jejaknya. Tatkala PDIP menang pemilu pada tahun 1999, tidak serta merta membuat Megawati menjadi presiden.

Lewat persekutuan dan permufakatan pat gulipat para partai di MPR, Gus Dur yang menjadi presiden. Megawati hanya menjadi orang nomor dua.

Megawati tidak kalap. Tidak memobilisasi kader-kadernya yang amat militan itu, mengayun kapak kemarahan. Megawati mengurut dada sembari tetap merawat partainya. Di sini, Megawati menerima kekalahan, tetapi menampik menjadi kalap.

Tatkala PDIP menang pada pemilu 2014, menurut rumus perolehan suara, PDIP bisa mendudukkan kadernya dalam kabinet Jokowi sebanyak tujuh orang.

Wakil Presiden terpilih ketika itu, Jusuf Kalla, datang menawarkan rumus peluang tersebut kepada Megawati.

Tak disangka, Megawati menampik mendudukkan tujuh orang kadernya dalam kabinet. Ia hanya mengusulkan empat nama. Silahkan berikan kepada yang lain-lain. Tolong cari kader-kader bangsa di luar PDIP, katanya.

Di sini, Megawati menunjukkan sikap, siap menang, tetapi menolak menjadi rakus.

Lain halnya bila saya ditanya, bagaimana posisi Partai Golkar dalam konteks beroposisi? Maklum, partai beringin ini selalu bertengger sebagai partai tiga besar sejak reformasi. Malah pernah menjadi partai penguasa absolut di masa silam.

Jawaban saya sangat tegas. Partai Golkar tidak bisa menjadi partai oposisi, karena kultur dan sejarahnya memang tidak pernah dan tidak akan bisa menjadi pihak oposisi.

Ia selalu keasyikan dan menikmati berada dalam wilayah edar kekuasaan, terlepas, siapa pun penguasanya.

Bila memang kelak, ternyata pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming yang dinyatakan sebagai pemenang, apakah partai-partai lain yang tidak beraliansi dengan Prabowo secara otomatis menjadi oposisi?

Saya ragu tentang itu. PKB, PKS, PPP dan mungkin Nasdem, kemungkinan akan gabung, menggemukkan koalisi partai pendukung Prabowo-Gibran.

Dan bila itu terjadi, pemerintahan Prabowo-Gibran bisa berjalan tanpa kontrol ketat karena oposisi berposisi kian marjinal.

https://nasional.kompas.com/read/2024/04/08/06000051/akankah-pdi-p-jadi-oposisi-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke