Salin Artikel

Dasar Pembatalan Hasil Pilpres oleh Mahkamah Konstitusi

Forum konstitusional ini merupakan sarana legitimasi penyelenggaraan Pilpres yang disediakan Konstitusi dan Undang-Undang Pemilu bilamana ada peserta menyatakan permohonan sengketa atas hasil Pemilu.

Pada perkembangannya telah menyentuh ranah sengketa proses seperti pada beberapa sengketa Pilkada sebagaimana dalam Putusan No 57/PHPU-D-VI/2008 amar memerintahkan PSU (Pilkada Kab. Bengkulu), Putusan No 132/PHP.BUP-XIX/2021 menyatakan diskualifikasi paslon (Pilkada Kab Boven Digoel), Putusan No 135/PHP.BUP-XIX/2021 menyatakan diskualifikasi paslon (Calon bupati terpilih memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat), dan Putusan No.145/PHP.BUP-XIX/2021 amar menyatakan diskualifikasi paslon (Pilkada Kab. Yalimo).

Dasar kewenangan ini dapat dilihat pada ratio decidendi MK pada Putusan No. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pilgub Jatim, yang menyatakan “Tidak dapat dinafikan bahwa seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dan tahapan Pemilukada akan sangat berpengaruh secara mendasar pada hasil akhir”.

Pembelahan rezim Pemilu Nasional dan Pilkada kemudian diakhiri melalui Putusan MK No 85/PUU-XX/2022 yang pada pokoknya menafsirkan secara original intent bahwa UUD 1945 tidak membedakan antara rezim pemilu nasional dengan pilkada, sehingga menyatukan kedua rezim pemilu tersebut dengan berlandaskan pada Pasal 22E UUD 1945.

Dengan itu, MK memiliki rasionalitas dan legalitas untuk memeriksa dan memutus proses hasil Pilpres yang diperoleh dari kecurangan yang secara nyata melanggar asas Pemilu yang luberjudil sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E UUD 1945 dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang ditegaskan dalam UU 7/2017 tentang Pemilu.

Implikasinya MK dapat membatalkan hasil Pilpres atau mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti melakukan kecurangan pemilu (fraud election) dengan perintah melakukan pemungutan suara ulang.

Selain dasar empiris atau praktik di atas, adapun beberapa preferensi teoritik yang menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan hasil Pilpres dengan praktik progresivitas.

Pertama, prinsip Demokrasi Konstitusional (constitutional democracy), yakni pelaksanaan demokrasi yang berlandaskan nila-nilai konstitusionalisme yang mengidealkan pelaksanaan politik pemerintahan demokratis berjalan dalam koridor konstitusi guna menghindari dan melawan penumpukan kekuasaan.

Dalam tren kontemporer dikenal dengan fenomena autocratic legalism, yakni otoritarianisme yang dibungkus hukum.

Dalam konteks Pilpres, prinsip ini mendorong adanya agenda Pilpres yang patuh pada asas-asas Pemilu dalam konstitusi.

MK sebagai forum konstitusional wajib menjaga kemurnian suara rakyat dan mengeliminasi hasil Pilpres yang berasal dari proses curang atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang semata-mata untuk pelanggengan kekuasaan yang bercorak dinasti politik.

Tujuan kewenangan ini guna menghasilkan presiden dan wakil presiden hasil Pemilu yang memiliki legitimasi hukum dan teoritik yang sifatnya kualitatif, bukan semata-mata kuantitatif.

MK tidak hanya sebagai "Mahkamah Kalkulator" yang berkutat pada kalkulasi angka-angka hasil pemilu. MK berpegang pada rasionalisasi nilai-nilai keadilan hukum dan konstitusionalisme dalam penyelenggaraan Pemilu.

Kedua, Yudisialisasi Politik (judicialization of politics). Teori ini memberikan landasan terkait korelasi Mahkamah Konstitusi dengan persoalan politik, dalam hal ini Pemilu.

Robert Carp,dkk (2004) mengatakan eksistensi peradilan yang memiliki peran signifikan dalam pembenahan sistem politik karena putusannya yang memiliki legitimasi moral dan hukum efektif dapat melindungi demokrasi, menjadikan peradilan merupakan unsur strategis untuk menjaga kemurnian suara rakyat hasil Pemilu.

Terlebih fungsi yang dilekatkan pada MK sejak pembentukannya, yakni sebagai the guardian of constitution (pengawal konstitusi), guardian of democracy (pengawal demokrasi), the protector of citizen’s constitutional right (pelindung hak konstitusional warga negara), dan the protector of human rights (pelindung hak asasi manusia).

Fungsi-fungsi tersebut menunjukan MK memiliki relevansi untuk memutus persoalan-persoalan politik, yang secara teoritik dikenal dengan Yudisialisasi Politik, yakni intervensi lembaga peradilan atas kebijakan politik yang dihasilkan oleh suara mayoritas seperti hasil Pemilu.

Teori ini juga dikenal dengan istilah (countermajoritarian) yang dianut dalam konsepsi pengujian undang-undang (judicial review), yakni kewenangan pengadilan terhadap pembatalan undang-undang sebagai produk mayoritas dari lembaga politik parlemen yang dipilih melalui Pemilu oleh rakyat dengan dalil supremasi konstitusi (Tom Ginsburg, 2003).

Yudisialisasi politik dalam konteks Pilpres oleh MK harus dipandang secara paradigmatik atas problematika Pemilu kontemporer yang sangat kompleks, tidak hanya sekadar persoalan formal-prosedural belaka.

Pilpres yang seharusnya (das sollen) sebagai sarana kedaulatan rakyat yang diselenggarakan dengan penuh kejujuran, bebas akan intervensi dan berkeadilan, pada realitasnya (das sein) sering terjadi kecurangan oleh penyelenggara, intervensi politik praktis pemerintah, dan dominannya relasi patronase dan politik uang yang dikendalikan dengan politik kartel dalam belenggu oligarki guna melegitimasi kekuasaan koruptifnya atau yang disebut embedded oligarchy politics (Wiratraman, 2023).

Fenomena ini mengharuskan adanya penegakan hukum yang tidak cukup berbasis prosedural belaka seperti yang cenderung terlihat pada lembaga yang berwenang seperti Bawaslu, melainkan adanya penegakan hukum yang lebih substansial dan intervensi atas dasar supremasi konstitusi dan keadilan hukum oleh suatu pengadilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, bukan suatu hal yang tak lazim dalam suatu negara hukum demokratis ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil Pilpres karena terbuktinya kooptasi proses oleh kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi/Mahkamah Agung di beberapa negara seperti Austria, Thailand, Ukraina, Malawi dan Kenya.

Membatalkan hasil Pilpres yang tidak demokratis karena pengabaian atas asas-asas Pemilu dan nir-integritas karena masifnya pelanggaran elik oleh penyelenggara dan peserta merupakan keniscayaan bagi MK sebagai lembaga yang berdiri di atas fondasi moralitas dan konstitusionalisme.

Namun, putusan pembatalan hasil Pilpres tergantung proses pembuktian di persidangan.

https://nasional.kompas.com/read/2024/04/05/08342891/dasar-pembatalan-hasil-pilpres-oleh-mahkamah-konstitusi

Terkini Lainnya

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Nasional
PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

Nasional
PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

Nasional
Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Nasional
Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Nasional
Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Nasional
Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Nasional
Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Nasional
TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

Nasional
Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Nasional
Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Nasional
Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

Nasional
Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Nasional
Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke