Usman mengatakan, dalam pemeriksaan, Tim Adhoc Komnas HAM untuk Kasus Munir menanyakan apakah yakin telah memberikan dokumen tersebut langsung kepada Presiden saat itu, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Proses penyerahan berkas TPF yang dikabarkan hilang, saya ditanya lagi, apakah benar waktu itu sudah diserahkan? Saya bilang sudah," kata Usman saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jumat (15/3/2024).
"Justru (fakta penyerahan) lebih mudah sekarang (ditelusuri), Pak SBY bersama para Menterinya pernah menggelar konferensi pers dan mengakui dokumen itu pernah diterima," ucap Usman.
Ia juga mengatakan, SBY bahkan tak hanya mengaku menerima dokumen TPF, tapi menerangkan telah memberikan salinan kepada pejabat terkait seperti Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Kementerian Hukum dan HAM, dan Sekretaris Kabinet.
Selain itu, Usman mengaku ditanya soal penyelidikan apa saja yang telah dilakukan TPF untuk mengungkap fakta pembunuhan Munir Said Thalib.
Ia mengaku telah banyak melakukan penyelidikan, mulai dari lingkungan Imigrasi, kemudian memeriksa pengelola bandara Angkasa Pura hingga memanggil para petinggi Badan Intelijen Negara (BIN).
"Nah seputar itu, lalu ada penggalian fakta tentang peran Pollycarpus, lalu peran orang lain di TKP, atau orang lain yang dilakukan dalam perencanaan pembunuhan Munir," kata dia.
Usman juga ditanya terkait alasan TPF itu untuk melakukan prarekonstruksi kasus pembunuhan Munir, termasuk melacak percakapan nomor telepon para terduga pelaku yang sempat diseret ke meja hijau.
Komnas HAM memanggil Usman Hamid dan istri Almarhum Munir, Suciwati sebagai saksi untuk menentukan apakah kasus pembunuhan Munir dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak.
Pemeriksaan ini sebagai salah satu harapan titik terang kasus pembunuhan Munir sejak Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat pada 20 September 2022.
Warisan dari komisioner Komnas HAM terdahulu ini dilanjutkan dan saat ini memasuki tahap pemeriksaan para saksi.
KASUM menilai, kasus pembunuhan Munir layak disebut sebagai pelanggaran HAM berat karena melibatkan aparat negara dan dilakukan secara terstruktur dan sistematis
Munir dibunuh pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura.
Ia meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat.
Hasil otopsi menunjukkan adanya senyawa arsenik dalam tubuh mantan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu.
Proses hukum terhadap orang yang dianggap terlibat dalam pembunuhan Munir pernah telah dilakukan.
Pengadilan menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto yang merupakan pilot Garuda Indonesia.
Pengadilan juga memvonis 1 tahun penjara kepada Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan.
Dia dianggap menempatkan Pollycarpus di jadwal penerbangan Munir.
Sejumlah fakta persidangan bahkan menyebut adanya dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pembunuhan ini.
Akan tetapi, tidak ada petinggi BIN yang dinilai bersalah oleh pengadilan.
Pada 13 Desember 2008, mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwoprandjono yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, divonis bebas dari segala dakwaan.
https://nasional.kompas.com/read/2024/03/15/19003591/ke-usman-hamid-komnas-ham-tanya-soal-penyerahan-dokumen-tpf-munir-ke-sby