SEJUMLAH hitung cepat (quick count) dan exit poll menempatkan pasangan nomor urut 2 di Pemilu Presiden 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, unggul telak.
Namun, anomali langsung akan tampak begitu menyandingkan hasil sementara Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 dengan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024.
Di Pemilu Legislatif 2024, bukan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang diketuai Prabowo yang unggul, setidaknya di hasil sementara sejauh ini.
Keunggulan sementara Pileg 2024 digenggam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), pengusung pasangan nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pilpres 2024.
Lalu, Kompas.com mendapati pula fenomena pemilih yang mengaku memilih Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 tetapi mencoblos PDI-P atau calon anggota legislatif (caleg) partai ini untuk Pemilu Legislatif 2024.
Maka, sederet pertanyaan langsung berloncatan di kepala atas fenomena keunggulan telak Prabowo-Gibran di Pilpres 2024, dengan proyeksi perolehan suara di kisaran 58 persen. Terlebih lagi, pemilu ini diikuti tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
"Ini fenomena split ticket voting, yang unggul Prabowo-Gibran di Pilpres tapi di Pileg yang unggul PDI-P," ujar peneliti senior Litbang Kompas, Toto Suryaningtyas, saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (21/2/2024).
Split ticket voting adalah fenomena yang terjadi ketika dalam satu waktu ada beberapa pemilihan sekaligus lalu pemilih membuat pilihan yang berbeda untuk pemilihan yang berbeda itu.
Misal, ada pilpres dan pileg serentak seperti sekarang, pemilih memilih Partai A atau caleg dari Partai A tersebut, tetapi di pilpres memilih kandidat yang diusung Partai B.
Menurut Toto, fenomena ini tak bisa dipisahkan dari persoalan ketiadaan pembeda ideologi antar-partai politik. Dalam hal Pemilu 2024, ini terutama antara PDI-P dan Gerindra.
"Saat pemilih tidak menemukan pembeda secara ideologi, mereka menentukan pilihan berdasarkan kejelasan," ungkap Toto.
Kejelasan ini bermakna luas, termasuk soal profil personal, gesture, dan program kerja. Dibanding Ganjar, data memperlihatkan pemilih melihat Prabowo lebih memberi kejelasan, setidaknya untuk kelanjutan program kerja pemerintahan saat ini yang akan dilanjutkan.
Dari sosok, Prabowo juga dinilai lebih tegas dibanding Ganjar. Kehadiran Gibran mendampingi pencalonan Prabowo menguatkan lagi kejelasan bagi pemilih soal keterkaitan pasangan ini dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Harus diakui, keunggulan Prabowo saat ini tidak terlepas dari faktor Jokowi," tegas Toto.
Bahkan, lanjut Toto, proporsi dukungan untuk Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 dari basis pemilih Jokowi pada Pemilu 2019 lebih besar dibanding kontribusi pemilih Prabowo pada Pemilu 2019.
"Ini dari data exit poll (Litbang Kompas) yang di-cross dengan data Pemilu 2019," sebut Toto.
Kembali ke soal kejelasan, sejatinya pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar juga menawarkannya, yaitu perubahan. Namun kejelasan ini tidak menuai efek besar di elektabilatas, menurut Toto karena persoalan ideologi yang juga berbeda.
"Kalau Prabowo dan Ganjar itu kan sebenarnya sama-sama mewakili ideologi nasionalis. Itu yang tak ada pembeda di antara mereka, sehingga pemilih pun merasa tidak apa-apa juga memlih Prabowo meski di Pileg memilih PDIP berdasarkan faktor kejelasan tadi," papar Toto.
Secara gesture, lanjut Toto, Prabowo juga dianggap lebih tegas dibanding Ganjar oleh pemilih. Adapun Ganjar dinilai unggul sebagai sosok merakyat.
"Namun tampaknya dalam penentuan pilihan, tegas lebih dianggap penting dibanding merakyat, untuk saat ini," kata Toto.
Fenomena split ticket voting antara lain pernah menjadi bahan disertasi M Qodari di Universitas Gadjah Mada (UGM). Di disertasi itu dia menggunakan contoh kasus Pileg dan Pilpres 2014.
Di situ Qodari mengurai faktor yang dapat memicu fenomena ini, termasuk pembeda dengan praktik serupa di negara demokrasi lain yang lebih matang dibanding Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/21/19294611/split-ticket-voting-anomali-dan-misteri-prabowo-unggul-telak-di-pemilu-2024