Berpikir kritis sangat penting bagi wartawan untuk menguji kebenaran informasi sebelum dikemas menjadi berita.
Apalagi sekarang berseliweran kabar palsu, informasi menyesatkan, kemampuan membaca dan menulis dengan kritis menjadi sangat penting.
Berpikir kritis akan membantu wartawan menemukan kebenaran dan membedakan mana yang benar dan tidak. Semua harus dilihat dengan skeptis dan pikiran njlimet (menyeluruh).
“Wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa dan guru bangsa. Empat surat kabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet,” kata Napoleon Bonaparte dalam kutipannya yang tersohor.
Napoleon (1769- 1821), sang kaisar dan komandan militer Perancis menggambarkan wartawan sebagai sosok yang cerewet.
Kecerewetan itu pantulan dari pikiran kritis. Bukan itu bukan ini, tapi yang lain, yang benar. Pikiran kritis (critical thinking) digunakan untuk menggali informasi yang benar.
Untuk menjaga wartawan tetap berpikir kritis dan mengikuti perkembagan teknologi terkini, PWI Pusat bekerja sama dengan seluruh PWI provinsi menyelenggarakan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) versi baru.
SJI yang didesain sebagai mobile school (sekolah keliling) yang didirikan PWI telah dibuka oleh Menteri Pendidikan, Kabudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, 6 Februari 2024 di Gedung PWI Jawa Barat, Jalan Wartawan II, Bandung.
Menurut Direktur SJI Ahmed Kurnia, sekolah jurnalisme ini dikatakan versi baru karena mengajarkan jurnalisme kekinian, multi tasking, dan critical thinking.
Kritis terhadap informasi dari segala arah, termasuk informasi yang disebarkan melalui kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang berpotensi mengandung hoax.
Penyelenggaraan pendidikan model baru ini juga disampaikan dalam laporan Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun dalam acara ulang tahun PWI ke-78 di kantor PWI Pusat, Jakarta, Jumat (9/2/2024).
Ulang tahun PWI yang ditandai pemotongan tumpeng, bersamaan dengan Hari Pers Nasional, 9 Februari, dihadiri antara lain Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu, SH, MS, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Sasongko Tedjo, Ketua Dewan Penasehat PWI Pusat H. Ilham Bintang, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, sejumlah tokoh pers, perwakilan organisasi pers, dan jajaran pengurus PWI.
Dalam kesempatan terpisah, Hendry Ch Bangun berharap melalui SJI, semua wartawan di seluruh Indonesia mampu bekerja dengan nalar kritis, sekaligus memiliki wawasan kebangsaan.
Dengan daya nalar kritis, pers dituntut mampu mem-verifikasi kebenaran informasi sebelum menjadikan informasi sebagai berita media massa.
Untuk menghasilkan berita yang tidak asalan, wartawan perlu merancang pertanyaan kritis dalam wawancara. Banyak mengajukan pertanyaan “mengapa (why), selain “apa, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana”.
Bahkan wartawan juga harus kritis antara lain dengan membongkar opini yang seringkali tersembunyi dalam kata sifat.
Misalnya kata sifat “kaya”, perlu dibongkar seperti apa yang dimaksud dengan kata “kaya” yang digunakan untuk kata sifat seseorang.
Karena kata sifat mengandung opini, maka kata sifat sebaiknya dihindari. Kata sifat antara lain, hebat, baik, luar biasa, cantik, indah, ramah, mudah, sulit, kotor, segar, buruk, murah, mahal, besar, kecil, sopan, tidak sopan, dan santun.
Boleh menggunakan kata sifat, asalkan dengan menunjukkan fakta-faktanya secara memadai. Lebih baik mengganti kata sifat dengan kata kerja dan kata benda yang jelas.
Misalnya, kata sifat “kaya” diurai dengan kata kerja dan kata benda. Kata “kaya” bisa diganti dengan “mempunyai 10 rumah masing-masing seharga”.
Dengan menguraikan kata sifat, wartawan tidak mudah terjebak dalam permainan kata. Misalnya, ada yang mengatakan calon wakil presiden A tidak sopan.
Kata “tidak sopan” harus dijelaskan atau didiskripsikan dan atau dinarasikan, supaya wartawan tidak ikut beropini.
“Ketika kamu menggunakan kata sifat, kamu akan berisiko menyelipkan opinimu ke dalam cerita,” kata Carole Rich dalam bukunya Writing and Reporting News, A Coaching Methode, Wadsworth Chengage Learning, 2010.
Wartawan dalam kode etik jurnalistik tidak boleh menulis opininya sendiri. Wartawan hanya melaporkan kejadian, dengan keadaan apa adanya dengan sudut pandang yang menarik.
Bahkan dalam menulis feature, misalnya, wartawan dituntut mempunyai kemampuan menarasikan suatu kejadian atau keadaan yang dilihatnya sendiri atau berdasarkan interview yang sangat detail.
Tulisan narasi, suatu tulisan bertutur yang dramatik, merekonstruksi kejadian, untuk mengajak pembaca seakan-akan menjadi saksi atau menyaksikan kejadian yang sedang dituturkan penulis.
Wartawan juga dituntut mampu menyampaikan informasi dengan gaya diskripsi. Walaupun feature ditulis dengan menggunakan diskripsi dan terasa seperti novel, bahan utamanya tetap serangkaian fakta (non-fiction), bukan fiction seperti novel.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/12/12082891/hut-ke-78-pwi-berpikir-kritis-dan-jurnalisme-kekinian