JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) baru-baru ini menjatuhkan sanksi etik kepada seluruh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI lantaran memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) Pemilu 2024.
Menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, putusan tersebut menegaskan bahwa pencalonan Gibran sebagai wakil presiden problematik.
Putusan ini pun diharapkan menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam menggunakan hak pilih mereka pada hari pemungutan suara, 14 Februari 2024.
“Saat ini yang bisa dilakukan adalah mengajak pemilih untuk rasional dan kritis,” kata Titi kepada Kompas.com, Selasa (6/2/2024).
Sebelum menggunakan hak suara, masyarakat diingatkan untuk mempertimbangkan segala aspek terkait capres-cawapres. Masyarakat juga diimbau untuk tidak mengabaikan dinamika terkait pencalonan.
Dengan demikian, pilihan bisa dijatuhkan secara benar, bijaksana, dan bertanggung jawab.
“Apalagi mengingat pilpres sudah dalam hitungan hari,” ujar Titi.
Putusan DKPP sendiri, kata Titi, menyangkut persoalan etika. DKPP tidak boleh melampaui masalah penegakan etika, apalagi mengubah keputusan administratif penyelenggara pemilu.
Oleh karenanya, meski memutuskan KPU RI melanggar etik, DKPP menyatakan bahwa langkah KPU meloloskan Gibran dalam pilpres telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Atas putusan ini, DKPP seolah hanya menekankan soal pelanggaran etika para komisioner KPU, tanpa menyentuh implementasi Putusan MK. DKPP seakan hendak menyatakan bahwa putusan mereka tidak berkaitan dengan pencalonan Gibran.
Kendati begitu, Titi mengatakan, ini tak mengesampingkan fakta bahwa pencalonan Gibran pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 memang bermasalah.
“Putusan DKPP ini menegaskan bahwa ada banyak masalah etika dalam proses pencalonan Gibran,” lanjut Titi.
Titi menduga, Putusan DKPP tak akan banyak berpengaruh terhadap pencalonan Gibran. Selain karena putusan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk mendiskualifikasi, pun mendorong Gibran supaya mundur dari pilpres seolah mustahil.
Sebab, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur larangan mundur bagi capres atau cawapres yang sudah ditetapkan sebagai pasangan calon tetap.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 236 ayat (2), Pasal 552, dan Pasal 553 UU 7 Tahun 2017 yang mengatur ketentuan pidana dan denda bagi calon yang mengundurkan diri,” tutur pengajar Universitas Indonesia (UI) itu.
Sebelumnya diberitakan, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari, Senin (5/2/2024).
Hasyim dinilai melanggar kode etik karena memproses pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Selain itu, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada 6 Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochamad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holik.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023.
Ini diperlukan agar Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 selaku aturan teknis pilpres bisa segera direvisi akibat dampak putusan MK.
“Para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK diucapkan," kata Wiarsa.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/06/13455131/kpu-langgar-etik-karena-loloskan-gibran-masyarakat-diminta-rasional-memilih